Ini Dia Anak Alay yang Ada di Dahsyat
Jakarta - Tim sorak yang setiap hari mangkal di acara musik Dahsyat, RCTI, ternyata memiliki struktur koordinasi yang rapi. Para remaja yang berusia belasan hingga dua puluhan awal itu dikoordinasi oleh seorang wanita yang disebut "mami".
Mami ini berfungsi sebagai koordinator lapangan alias korlap. Sejumlah 60 anak alay setiap hari pada pukul enam pagi berkumpul di depan studio Dahsyat, RCTI. Sebelum masuk studio, anak alay di-briefing dulu oleh sang korlap tentang penampilan dan ke-alay-an yang harus mereka lakukan selama acara berlangsung.
“Kalau briefing ada yang enggak rame kita kasih tahu. Cara pakaian yang rapi dan harus pakai sepatu. Mereka harus dandan juga, kan masuk tivi” kata Rini Pillar, salah satu korlap anak alay.
Pillar, begitu sapaan akrabnya, bersama tiga orang korlap lainnya, yakni Sofi, Ony, serta Atun, membawahi anak alay untuk bekerja menjadi tim sorak di Dahsyat. Para korlap ini bertugas mengumpulkan massa anak alay dari berbagai daerah. Mereka berdatangan dari lokasi sekitar Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Bandung serta luar Jawa, seperti Medan dan Padang.
Ketiga korlap itu memiliki satu bos, yakni Harsono Wahyudi. Harsono bertindak sebagai penyalur anak alay ke stasiun televisi. “Kita memang menyewa Harsono untuk ngumpulin penonton,” kata Opa Yahya, produser acara Dahsyat. Menurut keterangan Harsono yang menaungi usaha jasa Kapur Barus Agency, dirinya disewa oleh tim Dahsyat semenjak awal disiarkan pada tahun 2008.
“Saya sudah lima tahun kerja di Dahsyat,” kata Harsono Wahyudi. Jauh sebelum berkarier sebagai bos anak alay, lelaki asal cirebon ini dulunya adalah kru acara komedi Patrio. Merasa banyak belajar tentang manajemen acara televisi, ia akhirnya keluar dari pabrik tempatnya bekerja untuk merintis usaha setor tim sorak alay ke berbagai acara televisi.
Para tim sorak di Dahsyat direkrut memang untuk memeriahkan acara. Sebagian besar dari menjadi tim sorak untuk mencari nafkah. Para anak alay ini dalam sebuah acara dibayar kisaran harga 20-30 ribu rupiah. Di setiap stasiun televisi, mereka memiliki komunitas yang saling terkait satu sama lain. Bahkan, di antara mereka saling membagi informasi pekerjaan menjadi tim sorak. Oleh karena itu, tak heran jika pada pagi mereka ada di Dahsyat, lalu pada malam hari muncul di acara televisi lain seperti Opera Van Java di Trans 7. Sehingga dalam satu hari, anak alay bisa bergerilya ke berbagai stasiun televisi untuk menjadi tim sorak. Mereka harus beraksi gila, bersorak alay, berdandan nyeleneh, ataupun bertingkah aneh selama sebuah acara berlangsung.
Kisah Sukses Agen Alay yang Nyaris Jual Ginjal
Jakarta - Kehidupan Ely Sugigi benar-benar berubah drastis. Perempuan 41 tahun ini dahulu hidup dalam kesusahan. Tapi semua berubah setelah dia melakoni manajemen penonton alias pemasok anak-anak alay di stasiun televisi. Hidupnya kini berkecukupan.
Dalam wawancara, Ely menceritakan perjuangan hidupnya keluar dari impitan ekonomi. Dia pernah jadi pembantu rumah tangga. Penghasilan yang serbakurang membuat keluarganya banyak berutang sana-sini, apalagi suaminya saat itu bekerja serabutan (belakangan mereka bercerai). "Susah banget hidup saya, bayar utang hampir jual ginjal," kata Ely, Kamis, di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta.
Demi meningkatkan taraf ekonomi keluarga, perempuan bernama asli Ely Suharli ini berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Pada 2006, dia mengikuti audisi acara lenong di sebuah stasiun televisi. Sayang, niatnya tidak terlaksana karena audisi sudah ditutup. Dia lalu jadi penonton Lenong Yuk. Tak disangka, seusai menonton, dia dibayar. "Asyik, nih, dikasih duit Rp 15 ribu, juga dikasih makan," kata dia.
Namun rupanya sang suami kurang suka dengan pekerjaan Ely. Meski demikian, karena merasa nyaman, Ely tetap melakoni pekerjaannya sebagai penonton. Ibu dua anak ini pun terpaksa berbohong pada suaminya. "Saya dapat Rp 15 ribu bilangnya Rp 25 ribu, supaya boleh," kata dia.
Kesabarannya menekuni "profesi" penonton mulai memperlihatkan hasil. Dari hanya menjadi penonton, Ely diajak menjadi figuran. Saat itu bayarannya naik menjadi Rp 50 ribu. Namun ada yang lebih penting dari soal bayaran yang naik, yaitu perkenalannya dengan komedian pengisi acara, di antaranya Bedu. Dari Bedu inilah dia dipinjami duit Rp 1,5 juta untuk membuka bisnis manajemen penonton.
Profesinya sebagai manajemen penonton mulai dilakoni pada awal 2007. Sejak itu dia banyak memegang duit recehan. Ely kerap menukarkan uang itu ke sebuah bank dan kenal dengan pegawai bank bernama Hendri. "Dia baik hati. Dia ngajakin kerja sama dan minjemin uang Rp 100 juta. Pembagiannya 40:60; 40 persen dia, 60 persen saya. Dari situlah mulai berkembang," ujar Ely.
Kini hidup Ely berubah. Dia, antara lain, mempunyai rumah dan kendaraan, sebidang tanah, bahkan membelikan orang tuanya rumah dan kendaraan.
Totalitas Bos Alay Dahsyat
Jakarta - Harsono bukan nama asing bagi produser stasiun televisi maupun para penonton bayaran dan juga beberapa pelawak. Sebelum menjadi koordinator penonton bayaran, Harsono masuk ke dalam tim kelompok lawak Patrio yang digawangi Eko, Parto dan Akri.
Saat itu 2003, Harsono telah banyak belajar mengikuti persiapan pertunjukan Ngelaba oleh Patrio di TPI (sekarang MNC TV). Ilmu yang diperolehnya tersebut lantas dikembangkan dan memulai pekerjaan sebagai pengumpul tim sorak televisi, atau yang dikenal dengan istilah tim alay. Usahanya yang bergerak di bidang jasa itu dinamainya Kapur Barus Agency dan beralamat di Jalan Kemanggisan Raya RT 06 RW 10. "Saya sudah lama menggeluti usaha seperti ini," kata Harsono.
Sebelumnya, Harsono pernah bekerja sebagai pekerja teknis di pabrik kawasan Pulogadung, Jakarta. Namun, setelah merintis pekerjaan sebagai pengumpul tim sorak televisi, Harsono merasa nyaman dan ingin tetap konsisten. "Ya, kalau mau terjun ke dunia beginian enggak boleh satu kaki, harus dua kaki, nyemplung sekalian," katanya.
Kini Harsono terikat pekerjaan dengan acara Dahsyat semenjak 2009. Tiap harinya, ia harus menyediakan 60 orang tim sorak yang terdiri dari anak muda. "Mereka harus mau ramai dan penampilannya oke. Karena ini acara musik," katanya. "Sebelum memulai syuting, kita briefing dulu bagaimana caranya supaya ramai. Bagaimana nanggepin lawakan pembawa acara dan bersorak ketika artis datang. Mereka ya saya ajarin dulu," katanya.
Ketika disinggung soal bayaran, pria asal Cirebon ini hanya tersenyum simpul. Awalnya ia tak mau mengatakan dengan jelas berapa peruntungan yang diperolehnya tiap bulan. Namun, kemudian ia nyeletuk. "Ya, hitung saja deh tiga kalinya UMK (Upah Minimum Kota). Lumayan daripada orang kantoran," katanya tertawa.
Menurut dia, bayaran sejumlah itu hanya untuk acara Dahsyat. Namun, Harsono juga bisa dapat pesanan tim sorak dari acara televisi lain seperti TVRI, Trans TV, ANTV dan MNC. Ia pun juga mengaku pernah diminta menyediakan tim sorak untuk acara pertemuan partai Golkar dan PAN.
Tak lama, Harsono dikerubungi anak-anak alay yang baru saja bubar usai syuting Dahsyat. Puluhan remaja itu mendatangi kemudian menyalami serta mencium tangan Harsono.
Susah Jadi Artis, Mereka Jadi Anak Alay
Jakarta - Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak rupanya turut memberi pengaruh pada banyak pihak untuk memutar otak mencari peluang mencari nafkah. Hal itu pula yang dilakukan oleh beberapa remaja alay dengan memilih kehidupan menjadi penonton bayaran atau sekadar ikut syuting walau hanya menjadi pemain figuran (extras).
Menurut Feriana, salah satu kordinator penonton bayaran, untuk menjadi anak alay yang sering muncul di televisi tidak sulit. Tinggal menghubungi koordinator untuk minta diajak setiap ada syuting. "Mereka bisa masuk TV tanpa harus bayar. Bedanya kalau mau jadi artis harus lewat manajemen dulu," kata Feriana, ketika ditemui di Museum Penerangan, TMII.
Banyaknya remaja yang tertarik dengan pekerjaan tersebut, kata Feriana, karena banyak memberikan keuntungan serta kesenangan. "Kerja kayak gini ya enak, santai enggak ada beban buat mereka. Bisa seru-seruan, ketemu orang baru, ketemu artis, foto bareng artis, duit dapet," ujarnya.
Tugas Feriana adalah mengumpulkan penonton. Dia tidak pernah meminta bayaran kepada remaja yang ingin masuk televisi dan rela bergaya alay. Bahkan, ada beberapa remaja yang ingin menjadi artis mendatanginya karena ditolak oleh beberapa manajemen.
"Biasanya mereka sudah masuk manajemen, tapi enggak pernah dapat syuting. Padahal, untuk masuk manajemen mereka harus bayar pendaftaran Rp 100 ribu, lalu ada syuting bayar lagi Rp 500 ribu," tutur Feriana.
Kegiatan menonton acara dijadikan sebagai pekerjaan yang bisa terus dinikmati tanpa beban dan tanggungan yang cukup berat. Rupanya juga jadi salah satu daya tarik makin banyaknya orang meninggalkan pekerjaan lamanya dan putar haluan menjadi penonton bayaran atau sebagai pemain extras untuk sinetron tertentu.
Anak Alay pun Juga Punya Kelas
Jakarta - Penonton televisi pastinya sudah tidak asing dengan pemandangan anak-anak yang bertingkah heboh atau menyerukan yel-yel di acara-acara musik ataupun talkshow, yang biasa disebut anak alay. Ternyata, para penonton ini juga memiliki klasifikasi yang berbeda-beda di setiap penampilannya.
Menurut Eni, salah seorang penonton bayaran, perbedaan kelas menjadi salah satu hal yang tidak menyenangkan dalam pekerja penonton bayaran. “Enggak enaknya ada kelasnya, ada kelas A, itu untuk baris satu dua, sisanya kelas biasa,” kata penonton bayaran yang sering muncul di acara Ranking Satu ini.
Kelas A atau yang biasa disebut dengan kolongan cantik ini biasanya melalui casting dan juga harus memenuhi beberapa persyaratan khusus dari para koordinator di lapangan. “Bedanya kolingan cantik itu tingginya sekitar 165-an (cm) lebih, cantiknya nggak tau deh liatnya darimana, kalo mereka mungkin bisa dandan ya dan style bisa bagus,” katanya menjelaskan.
Selain itu warna kulit juga menjadi satu keharusan penilaian bagi kolingan cantik. “Harus putih, itu pertama ya. Orang cantik enggak putih juga kurang. Pokonya cantik tinggi putih. Kalo nggak ya stak,” tambahnya lagi. Perbedaan ini tentu bukan hanya perbedaan letak duduk, tapi juga besar dan kecilnya pemasukan.
“Bayarannya beda. Dua kali lipat dari kita (yang biasa),” katanya lagi. Hitungan kasarnya, jika seorang penonton bayaran kelas biasa mendapat bayaran Rp 50 ribu, maka untuk kolingan cantik bisa mendapatkan Rp 100 ribu per acara.
Meski berbeda penghasilan, Eni mengaku tetap senang dengan pekerjaannya yang sekarang ini. “Kita kerja kadang agak-agak mengalah, aku sih nikmatin jadi banyak enaknya,” katanya. Selama ini, saat berada di kelas biasa, Eni harus puas hanya bisa tampil dari baris belakang para penonton bayaran di televisi.
Saat baru-baru menjadi penonton bayaran, Eni pernah salah pilih tempat duduk. Seharusnya, tempat tersebut untuk mereka yang kelas A atau kolingan cantik. Eni mengaku sempat tersinggung ketika diusir. Tapi dia akhirnya mengerti pekerjaan tersebut memang ada kelasnya.
“Pernah enggak tau, gue main duduk aja, di paling depan, terus diamarahin. Tapi ke sini sini udah baik. Ya harus professional juga kitanya,” kata perempuan yang sekarang berada di bawah manajemen Elly Suhari ini.
Perempuan Ini Berhenti Kerja Demi Jadi Alay
Jakarta - Eni, sebelum memutuskan menjadi penonton bayaran merupakan pekerja kantoran. Dia bekerja di bagian marketing untuk perusahaan entertainment. Meski penghasilannya tidak berbeda jauh saat bekerja kantoran, tapi Eni mengaku dari menjadi penonton bayaran justru dia bisa menabung.
Eni tak perduli jika profesinya sekarang dibilang sebagai anak alay. "Dulu waktu kerja kantoran, saya enggak bisa menabung. Tapi sekarang setiap bulan paling enggak saya menabung Rp 500 ribu setiap bulan, bersih," kata Eni di Cibubur, Jakarta Timur.
Ketika bekerja kantoran, Eni mendapatkan gaji Rp 3 juta setiap bulannya. Dia pun menuturkan kebutuhan yang diambil setiap bulan dari gajinya. Setiap bulan, dia menyisihkan Rp 1 juta untuk ibunya, sisanya dia pakai untuk keperluan sehari-hari. "Tapi saya heran, gaji saya cuma cukup sampai seminggu," kata Eni.
Sekarang, meski berpenghasilan tidak tetap per bulannya, dia bisa menyisihkan uang untuk ditabung. "Saya tadinya enggak mau pegang ATM, karena pengen ambil duit mulu. Sekarang jadi makin rajin nabung lebih irit dan lebih menghargai uang,” katanya.
Untuk pergi 'bekerja' menjadi penonton bayaran, Eni mengaku hanya mengantongi uang Rp 10 ribu untuk naik angkot. "Kembalian angkot saja, seribu atau dua ribu, merasa sangat berharga. Sekarang saya juga lebih menghargai pekerjaan," katanya.
Selain menjadi penonton bayaran, Eni juga kadang diminta untuk menjadi figuran sinetron. Dia langsung menerima honor, begitu pekerjaan yang dilakoninya selesai.
Saat ini ia masih menikmati kehidupan sebagai seorang penonton bayaran. Ia mengaku juga nyaman dengan lingkungannya, apalagi setiap hari memungkinkan bertemu dengan orang-orang baru. Saat ini, Eni beluk kepikiran untuk mengganti profesinya, meski dia sadar tak selamanya bisa menjadi penonton bayaran.
Kisah Sukses Alay - Ngalay YUK !!
cara
,
pendidikan
,
tips
Edit
3 komentar :
Cara daftar jd anak alay bgmn bos?
Boleh tau alamat Kapur Barus agency gak?? Atau ada yg tau mungkin.. boleh dong aku minta alamatnya atau kontak person Kapur Barus Agency.. Terima kasih
Post a Comment