Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyebutkan beberapa barang atau komoditi yang sering dibawa oleh masyarakat Indonesia usai berpergian dari luar negeri.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai, Robert Leonard Marbun mengatakan, setidaknya terdapat delapan jenis komoditi yang dibawa orang Indonesia usai pulang dari luar negeri.
"Macam-macam dan bervariasi," kata dia kepada detikFinance, Jakarta.
Dia menyebutkan, komoditi tersebut seperti barang yang masuk dalam kategori high value goods (HGV) atau barang-barang branded mulai dari tas, arloji, dan sepatu. Lalu, ada juga perhiasan, obat-obatan dan suplemen, peralatan elektronik seperti handphone, kamera, laptop. Selanjutnya, kosmetika, mainan, pakaian dan peralatan olahraga.
"Itu yang kebanyakan dibawa penumpang," ungkap dia. Barang tersebut berpotensi untuk diperiksa oleh petugas bea cukai.
Diketahui, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 188 Tahun 2010 tentang penumpang dikenakan bea masuk barang lantaran harganya di atas batasan harga yang dibebaskan biaya masuk. Di mana, batasan untuk individu sebesar US$ 250 per penumpang atau US$ 1.000 per keluarga.
Jika barang-barang yang dibawa oleh penumpang dari luar negeri melewati batasan nilai yang telah ditetapkan, maka akan dikenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang tarifnya disesuaikan dengan jenis barang.
Sebaliknya, jika penumpang kedapatan membawa barang dari luar negeri namun jika ditotal atau jumlahnya kurang dari batasan yang ditentukan, maka petugas Bea dan Cukai di bandara tidak akan mengenakan.
Batas Barang Belanja dari Luar Negeri US$ 250 Sudah Tak Layak
Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo meminta, pemerintah untuk segera merevisi batasan harga impor barang penumpang.
Aturan tersebut tertuang dalam PMK Nomor 188 Tahun 2010. Di mana, batasan yang ditetapkan untuk orang pribadi sebesar US$ 250 dan untuk keluarga sebesar US$ 1.000.
"Kalau menurut saya perlu disesuaikan," kata Prastowo saat dihubungi detikFinance, Jakarta.
Dia mengakui, batasan yang diterapkan oleh Indonesia tidaklah lebih tinggi dan rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, melihat dengan perkembangan ekonomi maka revisi batasan perlu dilakukan.
"Batasan US$ 250 terlalu rendah, tidak sesuai lagi dengan perkembangan, banyak indikator sudah berubah, seperti pendapatan per kapita, inflasi, nilai tukar, dan PTKP," ungkap dia.
Prastowo mengaku, saat ini banyak masyarakat Indonesia yang mampu bepergian ke luar negeri dengan memanfaatkan tiket-tiket promo dari agen-agen traveling. Sehingga, revisi batasan ini sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan harga-harga dan ekonomi.
Dengan begitu, Prastowo memprediksi angka revisi batasan yang tepat untuk Indonesia di kisaran untuk pribadi US$ 2.500 dan keluarga US$ 10.000.
"Saya hanya merekam aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang saya tangkap mereka ingin di US$ 2.500 dan US$ 10.000 per keluarga, tapi sebaiknya didasarkan pada kajian," tukas dia.
Batas Barang Dibawa Lewat Bandara RI US$ 250, Bagaimana Negara Lain?
Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan tidak ingin terburu-buru untuk merevisi batasan nilai barang penumpang yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonomi nasional yang terus alami perkembangan.
Batasan yang ditetapkan saat ini sebesar US$ 250 untuk orang pribadi dan US$ 1.000 untuk keluarga. Batasan itu tertuang dalam PMK Nomor 188 Tahun 2010 tentang penumpang dikenakan bea masuk barang lantaran harganya di atas batasan harga yang dibebaskan biaya masuk.
Menurut Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai, Robert Leonard Marbun, batasan nilai yang diterapkan Indonesia tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
"Tadi kan ada contoh, kalau dibanding dengan kondisi perekonomian, belum tentu dia jauh lebih tinggi dari negara kita, dan di beberapa negara juga malah ada yang lebih complicated, ada yang hanya kurang dari 24 jam sekian, lebih dari 24 jam sekian, seperti itu," kata Robert saat berbincang dengan detikFinance di Kantornya, Jakarta.
Lanjut Robert, batasan nilai yang berlaku di Indonesia justru lebih simple dibandingkan dengan negara-negara lain.
"Seperti tadi ada satu negara, kurang dari 24 jam dia batasannya itu lebih rendah, di banding kalau dia lebih dari 24 jam, itukan untuk menghindari orang yang bisa bolak-balik. Tapi kalau di kita kan tidak membedakan, lebih simple sebenarnya," jelas dia.
Berikut adalah batasan-batasan nilai barang penumpang yang diterapkan oleh negara-negara lain:
- Indonesia US$ 250 per orang dan US$ 1.000 per keluarga.
- Malaysia RM 75 atau US$ 18,75 untuk food preparation, dan RM 400 atau US$ 100 semua goods and souvenirs
- Thailand 10.000 baht atau US$ 285
- Camboja US$ 50
- Singapura US$ 600 untuk masyarakat uang lebih dari 48 jam berpergian ke luar, dan US$ 150 yang kurang dari 48 jam
- United Kingdom US$ 557 datang menggunakan pesawat atau kapal pribadi, dan US$ 385 yang sebaliknya.
- Belanda US$ 474 jika datang menggunakan pesawat atau kapal pribadi, US$ 330 sebaliknya.
- Denmark US$ 484 datang dengan pesawat atau kapal pribadi, US$ 335 sebaliknya.
- Swedia US$ 474 datang tidak dengan moda selain pesawat dan kapal komersial, dan US$ 330 sebaliknya.
- Irlandia US$ 474 umur 15 tahun ke atas, US$ 237 untuk umur sampai dengan 15 tahun.
- Amerika Serikat US$ 800
- Canada US$ 153
- Australia US$ 649 untuk umur 18 tahun ke atas, dan US$ 324 untuk umur di bawah 18 tahun.
- China US$ 764 warga negara China, dan US$ 305 non.
Jakarta - Ramai jadi perbincangan tentang pengecekan barang yang dibawa penumpang sekembali dari luar negeri. Apalagi beredar video saat penumpang harus membayar puluhan juta karena membawa barang berupa tas mewah dari luar negeri.
detikFinance berkesempatan berbincang dengan Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai, Robert Leonard Marbun mengenai fenomena tersebut. Robert menjelaskan dengan rinci, mulai dari latar belakang, pajak dan bea masuk yang dikenakan hingga perbandingan dengan negara lain.
Berikut kutipan wawancaranya:
Ramai jadi perbincangan, bagaimana sebenarnya aturan pengenaan bea masuk dan pajak di bandara?
Aturan ini kan sudah lama, aturan PMK Nomor 188 Tahun 2010, ada aturan sebelumnya Nomor 89 Tahun 2007, kita kan sudah di beberapa publikasinya banyak, ada yang melalui website, melalui banner, beberapa majalah di majalah inflight juga sudah, seperti Garuda, Lion juga ada , cuma mungkin yang perlu itu masyarakat kita coba membaca, terus kalau di bandara kita juga. Yang perlu itu mohon dukungan untuk membaca, jadi sebenarnya kita sudah masif, ada talkshow juga, macam-macam seperti itu.
Kita kalau seluruh bea cukai di dunia, kita punya semacam standarnya ikut seluruh dunia sama, ada green channel, red channel, barang penumpang yang dipakai atau barang tidak dipakai, kalau di Internasional threshold, istilahnya berapa sih batasan kalau kita bawa barang dari luar negeri tidak dikenakan bea masuk atau pajak.
Bagaimana menetapkan batasan di Indonesia?
Kalau di Indonesia itu kita hitung, pada saat menetapkan US$ 250 itu bagaimana, jadi enggak sembarangan, jadi kita lihat kondisi ekonomi kita, kita lihat pendapatan perkapita, kalau kita disamakan dengan Singapura, kadang-kadang kan pendapatan perkapita itu banyak, jadi semua itu kita selalu ikut standar internasional, bahkan kalau di negara lain itu ada yang lebih keras dari kita.
Jadi, kemudian kalau lihat barang dari luar seperti tas itu kan kita x-ray, barang itu ada yang ditenteng, ada yang cabin, ada yang masuk di kargo, dimasukkan ke x-ray juga, lalu yang di depan juga barang penumpang juga periksa.
Seperti apa cara petugas mendeteksi barang yang dibawa penumpang?
Kan bisa kita lihat, kita cek, biasanya juga dibuka teman-teman, jadi yang paling penting itu kita jujur, ya penumpang jujur, artinya kita selaku warga negara yang baik, kalau baru beli kita deklarasikan. Kalau nanti berdebat baru atau lama, itu relatif, kalau memang baru beli declare saja.
Apa ini juga diberlakukan di negara lain?
Karena memang itu memang best practice internasional seperti itu, kita Bea Cukai itu ada best practice internasional, maka coba lihat deh kalau pergi ke luar negeri itu sama, artinya di luar juga sama kok ada tindakan, cuma tinggal besarannya, besaran itu tergantung kepentingan nasionalnya, yang kedua ini asas prinsip perpajakan itu juga asas keadilan, misalnya kalau barang impor di luar negeri juga banyak di Indonesia, yang sudah masuk itukan sudah bayar, masa masuk dari luar enggak bayar, kira-kira gitu lah.
Tapi kalau itu sudah lama aturannya, merasa aneh enggak dengan viral di media sosial?
Biasanya gini, kan ekonomi makin maju, kalau ekonomi maju berarti orang banyak yang mampu, makin banyak yang bisa berpergian ke luar negeri, terus makin banyak yang belanja di luar negeri, nah kemudian juga waktu pulang itu kadang ya dia enggak declare, seolah-olah menjadi viral, ada juga yang taruh di media sosial, sebetulnya aturan yang sudah ditegakkan, ini kan sudah lama.
Apa karena kurang sosialisasi ke masyarakat atau bagaimana, sepertinya banyak yang kaget?
Kalau kami sih relatif, kalau kita mungkin yang kita alami mungkin kurang sosialisasi, sebenarnya coba cek kalau jalan di bandara juga banyak, majalah juga, kemudian di website kita. Sebenarnya sama di luar negeri juga sama, mau di Singapura, mau di mana juga salah. Makanya kesadaran memang diperlukan, dari kami sosialisasi, dari teman-teman masyarakat juga ya aktif juga memahami, terus kemudian comply, jadi harus ada dua belah pihak.
Pengenaan tarif apakah sama di setiap barang?
Tarifnya berbeda, tergantung jenis barang, kan ada aplikasi yang kita sediakan, bisa download di playstore, karena barang itu kompleks. Tapi kami siapkan guidance misalnya ada jenis barangnya apa, itu bisa masukkan kata kunci, misalnya contoh kalau barang itu tidak bisa mengenalnya merek, yang kita kenal adalah kategorinya, misalnya iPhone, inikan kategorinya phone, kalau diketik di situ phone, jadi ada juga di website kita, ini seperti semacam guidance.
Misalnya harga kamera US$ 10.000, terus enggak ada asuransi, terus ada NPWP atau tidak, kalau ada NPWP nanti isi nomor NPWP, kalau pakai NPWP lebih rendah, tapi coba tidak pakai NPWP sebagai contoh. Tapi semua tarif pajaknya seperti BM, PPN, PPN, PPnBM.
Kriteria barang yang diperiksa itu seperti apa?
Pertama lebih dari batasan, terus dipakai atau tidak sendiri, pokoknya barang penumpang yang lebih dari US$ 250 teruskan sesuai best practice internasional itu barang penumpang itu barang yang melekat, atau ditenteng, terus kalau dari kondisi baru atau tidak baru saya bilang sangat tergantung sama kesadaran kita untuk men-declare. Jadi bukan barang itu untuk dijual atau tidak atau dipakai sendiri.
Bisa dijelaskan cara menghitungnya? Apa ketika saya beli sepatu tapi totalnya enggak lebih dari US$ 250 atau bagaimana ?
Enggak kena, sebenarnya semua barang itu wajib, cuma kalau lebih dari US$ 250 itu ada pengenaan. Misalnya harganya US$ 245 itu kurang dari US$ 250, tapi kalau US$ 255 itu yang US$ 5, jadi seperti threshold itu kan batasnya, jadi yang tidak dikenakan.
Apa Iphone yang dibeli di luar negeri juga akan kena?
Iya itu termasuk, coba saja cek harganya berapa, inikan ada kalkulatornya, kalau selama melebihi dia kena, gampangnya nanti bisa dicek.
Bentuk pengawasan nanti di bandara bagaimana?
Itu sebetulnya kami, jadi ada profesional adjustment ada juga, pada dasarnya semua kita lihat dan kita cek. Jadi kalau barang tentengan itu hampir semua, tapi kan ada barang yang di koper, ada yang dibawa di tangan.
Apa barang yang langsung dipakai juga diperiksa?
Intinya kita penegakan hukum itu enggak seperti main hajar gitu, kita juga memperhatikan kenyamanan, jadi ada standar level service kita, kita usahakan jangan sampai orang enggak nyaman, kita berusaha ada standarnya service, tapi kalau bisa dari masyarakat juga harus bisa mendeklarasi. Kalau kena pemeriksaan terus ditemukan lalu bayar, ada prinsip kami melayani terus masyarakat comply.
Bagaimana cara membedakan barang konsumsi sama yang mau diperdagangkan?
Itu yang saya bilang, ya agak sulit, jadi tentu kalau bagi yang terkena pemeriksaan, ada argumentasi tersendiri, seperti yang tadi dibilang, ya inilah niat baik dan kesadaran yang penting, kalau misalnya berdebat pakai sendiri atau apa repot. Contoh, ada yang bilang 3 dipakai sendiri, buat saya kalau ke luar negeri traveling misalnya bawa sepatu untuk olahraga, dan itu kelihatan kalau itu bukan baru atau baru, kaya sepatu kelihatan juga, jadi sama-sama saling membantu. Jadi masyarakat itu coba jujur, kalau seperti itu kita lebih enak juga kerjanya.
Kalau penumpang mengaku itu barang konsumsi bagaimana?
Kalau kita berdebat itu, terus itu tidak ada titik temu, jadi misalnya kalau dari sisi diperiksa maka saya akan ada argumentasi menutupi. Jadi kalau tidak ada saling terbuka, jadi tidak ketemu kepatuhannya, jadi hanya diperdebatkan seperti itu.
Apa sanksi bila pajak atau bea masuk tidak dibayar?
Ya sesuai aturan ya dia bayar saja, kalau ada terkait tata niaga lain, jadi barang itu selain ada kewajiban perpajakan ada juga kalau obat, ada aturan sendiri yang mengatur, aturan tata niaga juga kan dalam rangka melindungi dalam negeri.
Saya punya contoh, misalnya traveling dari negara A, lalu transit di negara B, baru ke negara kita, dari negara A kita beli di duty free, terus transit di negara B, itu tidak keluar bandara, itu barang disita di negara itu, padahal itu jelas duty free, nah terus kita harus comply, kalau mereka disita, aturan mereka kalau memang tidak bisa maka disita.
Misalnya, saya habis pulang dari Eropa, di sana ketat sekali, saya beli barang kayak cokelat. Subjek bisa minta tax refund, kalau di Indonesia itu kan pelaksanaannya gampang sekali, enggak dipungut, tunjukin boarding pas lalu ambil. Kalau di luar negeri tax refund itu harus ditunjukkan di customs, kemudian baru minta tax refund, setalah minta stampel, baru minta tax refund, dan saya lihat orang lndonesia patuh di sana, nah itu kan tergantung di negara masing-masing. Saya menggugah gini, kalau di luar negeri patuh, ya di Indonesia juga patuh lah. Intinya gini, kalau di luar patuh, di sini juga patuh.
Banyak anggapan pejabat bisa bebas saja keluar imigrasi, bagaimana tanggapan bapak?
Bagaimana kita tahu kalau dia keluarga pejabat atau tidak, saya kemari di Cengkareng tidak ada yang kenal sama saya tuh, banyak yang enggak kenal. Yang paling penting itu kita sama-sama men-declare saja. Saya pulang dari luar negeri, justru saya sebagai bea cukai malah justru makin malu kalau saya melakukan itu. Ya comply saja kira-kira gitu.
Batas US$ 250 dianggap sudah tidak layak, bagaimana tanggapan bapak?
Kita itu kan terus kok, kan ada best practice di internasional, sudah ada self adjustment kita ikut, misalnya tadi threshold barang penumpang. Kita di level asian juga kita ngobrol, dan prinsipnya kita lihat internasionalnya bagaimana. Di level internasional juga batasan itu tidak ada kesepakatan untuk menyamakan, itu sangat tergantung oleh kondisi ekonomi, masyarakatnya, tapi yang disamakan adalah peraturannya more or less hampir sama. Jadi yang kedua kita juga dengar masukan masyarakat selain dari internasional, dan kita terus review, nah misalnya ini juga akan kita review, masukan masyarakat termasuk, dan dalam proses itu tidak ada yang harga mati. Review itukan bisa jadi plus bisa jadi minus, dan kita selalu memperhatikan penumpang, tapi juga asas keadilan tadi, ada pengusaha impor barang dan dia harus kita dengar juga, yang impor juga kan bayar pajak, mempekerjakan orang, nanti kalau orang ini enggak bisa bersaing kan tutup nih, nanti orang yang bekerjanya bagaimana, jadi bea cukai melihat bukan hanya melihat penumpang, tapi ritelernya juga yang membuat barang yang sama.
Ya kita revisi, kami harus undang seluruh stakeholder, asosiasi, industri, yang kemungkinan dia akan terpengaruh.
Kapan akan direvisi?
Ya kita, kalau proses bea cukai itu kalau ada revisi kita harus buat semacam public hiring, FGD, ketemu dengan industri, ketemu dengan ini, kami juga harus undang selain riteler yang barangnya sama persis, atau juga kita ngomong dengan industri kecil, yang kemungkinan dia akan terpengaruh.
Banyak yang bertanya, uang yang diberikan ke petugas buat apa?
Pembayaran itu langsung masuk ke kas negara, kami tegaskan tidak ada yang ke rekening pribadi, itu masuk ke rekening negara, kan dikasih bukti juga, dan semua hal kita tidak macam-macam. Di sana disediakan, dan kalau dia ragu dia bisa komplain, ada alat EDC, itu langsung masuk ke kas negara. Apalagi sekarang kalau di lihat, ruangan kita itu kan terbuka, lebih transparan, terbuka banget.
0 komentar :
Post a Comment