5 Kelas prostitusi di Bali
Sebagai lokasi wisata dunia, Bali tidak bisa lepas dari kehidupan malamnya. Bali mampu menarik wanita wanita penghibur dari kelas bawahan hingga kelas atas mencari nafkah.
Mereka datang ke Bali karena menyadari keberadaan pasar lelaki hidung belang yang selalu berkeinginan memuaskan hasrat birahinya. Para pekerja seks komersial ini datang ke Bali tidak hanya menarget para turis yang datang, tetapi juga mengincar kelompok pekerja kelas bawah.
Pemerintah daerah sebenarnya memiliki perda untuk pemberantasan pelacuran. Tetapi perda ini mandul hingga kini. Bahkan semakin hari jumlah 'kupu-kupu malam' di Pulau Dewata semakin bertambah.
1. Di pinggir jalan
Bagi warga Bali yang sering lewat Jalan Gatot Subroto, Denpasar, tidak asing lagi dengan praktik prostitusi tiap malam. Para pekerja seks komersial sering mangkal di sekitar perempatan Jalan Bung Tomo dan Jalan Pidada.
Para PSK yang berada di lokalisasi ini memasang tarif yang tidak tinggi. Menurut catatan survei dari Yayasan Kertipraja yang bergerak dalam konseling PSK menghitung mereka seringkali bersedia dibayar sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu.
Hitungan yayasan ini, ada sekitar 300 PSK yang beroperasi di ruas jalan ini. Pihak pemerintah sudah sering melakukan penertiban, tetapi selalu gagal mengusik keberadaan mereka.
2. Lokalisasi kelas bawah
Lokalisasi di Jl Danau Tempe, Sanur ini dikenal banyak untuk kalangan kelas bawah. PSK yang beroperasi kebanyakan berasal dari kota kota di Jawa Timur dan Jawa Barat. Mereka beroperasi di bilik bilik gelap nan sempit di sekitaran Sanur.
Jangan bayangkan tempat yang layak bagi 'operasi' mereka. Sehari hari mereka menjual layanan seks berteman dinding kusam, dipan dari semen dan kasur busa tipis. Lampunya remang remang dengan suara musik dangdut berdentum.
Konsumen mereka juga dari kalangan kelas bawah. Tarifnya berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu sekali kencan. Lokasi yang hampir mirip juga ditemukan di Padanggalak, Sanur.
3. Bungalow
Di kawasan Jalan Danau Poso, prostitusi sudah menjadi rahasia umum. Hanya bedanya dengan di kawasan Jalan Danau Tempe, di Jalan Danau Poso tingkatannya lebih beragam. Di Jalan Danau Poso, tempat mangkal prostitusi beragam.
Ada yang berbaur dengan rumah penduduk. Ada juga yang beroperasi di bungalow bungalow wisata. PSK di bungalow memasang tarif yang lebih mahal dari mereka yang beroperasi di Jalan Danau Tempe.
Menurut pegiat dari Yayasan Kertipraja prostitusi di bungalow kawasan Sanur menyasar kelas yang lebih tinggi. Tarif para PSK di bungalow bungalow kawasan Sanur ini bervariasi antara Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu sekali kencan.
Beberapa tamu pria hidung belang yang datang di antaranya adalah wisatawan lokal dari kota kota di Pulau Jawa termasuk Jakarta. Prostitusi di wilayah ini konon sudah tumbuh sejak 1950-an.
4. Memancing di tempat hiburan
Prostitusi di Bali juga ikut menyergap banyak tempat hiburan malam yang beroperasi di seluruh Bali. Utamanya di kawasan wisata Kuta, Legian, Seminyak. Hanya bedanya, mereka para PSK menyamar dengan berlagak seperti tamu. Tentu saja mereka harus modal untuk mendapatkan pelanggan. Modal itu digunakan untuk tarif tempat hiburan tempat mereka mencari pelanggan dan juga membayar harga minuman.
Banyak di antara mereka mendapat penghasilan bagus dengan cara menyamar. Mereka menjemput bola, dan bisa mengajak pelanggan pergi keluar. Catatan Yayasan Kertipraja, tarif mereka bervariasi. Dalam sekali kencan bisa dapat Rp 1 juta jika tamunya wisatawan mancanegara.
5. Mangkal di lokasi hiburan malam
Di berbagai kawasan di Kuta seperti Jalan By Pass Ngurah Rai atau Legian? Cukup banyak tempat prostitusi yang berkedok hiburan. Di sini banyak wanita yang berperan sebagai pemandu tetapi bisa berperan sebagai PSK.
Jumlah mereka makin menjamur seiring tingginya jumlah wisatawan ke Bali baik lokal maupun manca. Mereka yang mangkal di lokasi hiburan malam ini rata-rata memasang tarif tinggi. Dalam sekali kencan mereka bisa mendapatkan Rp 1 juta dari pria hidung belang.
Para PSK di tempat hiburan malam ini kebanyakan sadar tentang pentingnya keamanan dalam berhubungan.
Potret suram pelacuran kelas teri di Bali
Musik kendang kempul khas Banyuwangi mendentam-dentam keras memekakkan telinga. Lampu warna-warni lima watt mulai menyala kelap-kelip. Kompleks pelacuran kelas teri di Danau Tempe, Sanur, Bali, mulai hidup.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.30 Wita, saat menelusuri kawasan tersebut. Tapi rupanya lokalisasi Danau Tempe belum terlalu ramai. Belasan wanita setengah baya asyik memoles bibir dan wajah mereka dengan gincu dan bedak.
Pakaian mereka seronok. Rata-rata rok mini dan atasan yang setengah terbuka. Sebagian lagi bercelana super pendek.
"Biasanya sih mulai ramai jam 23.00 Wita ke atas. Kalau malam Minggu begini bisa sampai pagi," kata Rani, salah seorang wanita penjual cinta saat berbincang.
Lokalisasi Danau Tempe berdiri di gang-gang sempit. Ada belasan pondok di sana yang menyediakan kamar-kamar untuk memadu cinta sesaat. Ada juga meja dan kursi dan perangkat karaoke. Sekadar pemanasan sebelum masuk kamar.
Namanya lokalisasi kelas teri, jangan harapkan kamar-kamar yang nyaman. Kamar di sana, hanya disekat satu sama lain. Ada kasur tipis dekil. Tak ada AC atau kipas angin, hawa dalam kamar panas sekali.
Sebuah tempat bilas yang cuma disemen dan lubang untuk buang air ada di setiap kamar.
Di dinding kamar berjejer foto-foto seronok artis mengiklankan kondom. Di kawasan ini memang pelanggan wajib menggunakan kondom. Walau faktanya masih ada saja yang bandel.
Lokalisasi Danau Tempe bukti tak semua hal di Bali serba glamor. Kerasnya perjuangan para wanita ini menjadi bukti tak mudah mencari uang di Tanah Dewata.
"Kalau di sini rata-rata tarifnya Rp 100.000. Uang itu sudah termasuk biaya kamar," kata Rani.
Walau sudah murah, banyak tamu yang masih menawar. Kadang bahkan ada yang minta harga Rp 25.000.
"Banyak yang tega, Mas. Nggak kasihan sama kita," keluhnya.
Seorang wanita lain, Susi, mengaku tak selalu dapat tamu. Kalau begini, terpaksa dia menurunkan tarif.
"Berat mas, tamu kadang nggak banyak. Di sini ada lebih dari 100 wanitanya. Kalau nggak dapat tamu gimana mau makan sama bayar kontrakan," kata wanita asal Jember ini.
Susi menjelaskan kebanyakan wanita di sana datang dari Jawa Timur. Seperti dirinya dan Rani yang sudah belasan tahun merantau ke Bali untuk menjadi PSK.
Malam makin larut, Susi dan Rani keluar dari pondokan. Berdiri sambil merayu laki-laki yang lewat.
"Ayo, mas. Mau main ya?" kata mereka genit.
Si lelaki cuek saja. Rani tak putus asa, dia kembali merayu pria lain yang melintas. Tak juga berhasil. Entah apa malam itu dia bisa dapat pelanggan, atau kalah bersaing dengan pelacur yang lebih muda.
Hidup memang keras.
Bali rasa Banyuwangi di pelacuran kelas teri
Tak begitu jauh dari Denpasar, tepatnya di kawasan Sanur, Bali, berdiri lokalisasi kelas teri yang terletak di gang-gang sempit di sebuah perkampungan penduduk. Tak perlu berkocek tebal, pria hidung belang berdompet tipis pun bisa mampir.
Memasuki gang sempit dengan temaram lampu remang-remang, pengunjung disuguhi lagu-lagu kendang kempul khas Banyuwangi. Setiap 'pondok cinta' yang jumlahnya mencapai belasan tersebut, tak henti-hentinya memutar lagu Reni Farida, artis Lokal Banyuwangi, serta artis-artis lokal Banyuwangi lainnya. Ada juga alunan lagu dangdut yang diputar dari CD player, ikut memeriahkan suasana malam itu.
"Saya asli Banyuwangi, gak jauh dari daerah Kawah Ijen," kata Ida bukan nama sebenarnya. Wanita berbadan agak tambun itu memperkenalkan diri, yang mengikuti sebuah LSM peduli HIV/AIDS saat membagi-bagikan kondom gratis kepada para PSK di Lokalisasi Danau Tempe, Sanur, Bali, Sabtu malam sekitar pukul 22.00 WIB.
Meski terletak di sebuah perkampungan Bali, Lokalisasi Danau Tempe dipenuhi oleh wanita penjaja cinta yang rata-rata orang Jawa Timur, serta sebagian Jawa Barat. Ada seratus lebih PSK yang mangkal di sana.
"Di sini rata-rata dari Banyuwangi, Jember, ada Malang juga," kata Joko, bukan nama sebenarnya, pria yang berprofesi sebagai mucikari di salah satu pondok di Lokalisasi Danau Tempe.
Para pelanggan pun kebanyakan para perantau asal Jawa. Mereka adalah pekerja-pekerja kasar di Bali, seperti buruh bangunan, pedagang serabutan. Tawar menawar pun dilakukan dengan bahasa Jawa.
Namanya juga lokalisasi kelas teri, harga yang dipatok pun tak lebih dari Rp 100 ribu untuk sekali kencan. Bahkan, ada juga pria hidung belang yang menawar sampai Rp 25 ribu saja.
"Kalau segitu namanya pelecehan," papar Ida sambil menyisir rambutnya yang hitam agak ikal.
Sementara, menurut Heri Utomo, pegiat Yayasan Kertapraja, LSM yang bergerak dalam penyuluhan bahaya penyakit HIV/AIDS dan penyakit kelamin, kedatangannya ke Lokalisasi Danau Tempe ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan untuk membantu para PSK meminimalisir risiko terkena penyakit HIV/AIDS. Dia mengakui, memang kebanyakan para PSK yang mangkal di Danau Tempe adalah bukan penduduk asli Bali.
"Kita juga melayani tes HIV, beserta konseling. Seandainya ada yang terkena HIV/AIDS, kita dampingi terus," ujar Heri .
Kedatangan Heri ke lokalisasi malam itu disambut senyum sumringah para PSK lantaran mereka dapat jatah kondom gratis. Tak perlu mengeluarkan kocek untuk mendapatkan alat pengaman berbahan lateks tersebut.
"Kalau mau main di sini, wajib pakai kondom," kata Ida tegas, namun sedikit kemayu.
Makin malam, gang-gang sempit di Danau Tempe pun kian ramai. Negosiasi pun dilakukan di gang-gang sempit dengan pencahayaan minim. Aroma parfum murahan, beserta nyaringnya lagu Kendang Kempul Banyuwangi, makin menyemarakkan malam bulan purnama di Pulau Dewata.
"Mampir mas," sapa wanita bertubuh agak jangkung yang tampak seksi mengenakan rok mini.
Biar bisa digaet turis asing, PSK di Bali rela 'memancing'
Banyak cara yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial (PSK) untuk mendapatkan klien tajir, terutama para bule. Mereka rela mengeluarkan fulus untuk sekadar membeli minuman untuk nongkrong di klab malam. Ini salah satu cara untuk memancing para pelanggan.
"Biasanya mereka memancing, dengan masuk ke diskotek, membeli minuman. Di sana mereka mulai mencari mangsa para turis asing," kata pegiat Yayasan Kertipraja, Heri Hutomo di Kuta, Bali, Sabtu malam.
Yayasan Kertapraja adalah sebuah yayasan yang konsen memberikan bimbingan dan konseling kepada para PSK di Bali agar mereka terhindar dari penyakit kelamin, atau pun HIV/AIDS.
Memancing turis dengan mengeluarkan modal duluan ini sering sukses, artinya para PSK itu berhasil menggaet turis untuk kencan dengan bayaran yang cukup fantastis. "Biasanya ada yang mencapai satu juta satu kali main," tutur Heri.
Namun ada juga PSK yang apes. Meski telah mengeluarkan modal untuk beli minuman dan membayar sejumlah uang untuk masuk kelab malam, namun klien yang dicari, tiada didapati.
"Kadang ada yang nggak dapat juga. Gak semuanya berhasil," ujar alumnus Antropologi Universitas Udayana tersebut.
Heri bahkan bercerita, ada juga para PSK yang mendekati turis asing dengan tujuan untuk dijadikan pasangan hidup. Harapannya, masa depan dijamin cerah dan derajat akan naik. Dan tentunya, mereka bisa pensiun dari profesi sebagai PSK.
"Saya punya teman PSK, dia akhirnya dijadikan istri dan dibawa pulang ke negeri asalnya di Australia," cerita Heri.
Fenomena seperti yang diceritakan oleh Heri juga banyak terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Banyak cewek-cewek di Banyuwangi yang bekerja di Bali dipersunting oleh turis asing, dan akhirnya menjadi kaya raya.
Selain dibawa pulang ke negara asalnya, tak sedikit juga para turis tersebut menetap di Banyuwangi. Di Banyuwangi, mereka membangun rumah mewah, bahkan ada yang bikin perusahaan-perusahaan. Kehidupan sang wanita pun akhirnya terangkat lantaran menikah dengan bule, atau turis dari Jepang.
"Ada memang yang ingin mengubah nasib dengan 'memancing' bule," ujar Heri.
Panduan Lengkap Prostitusi Bali
panti pijat
,
pelacuran
,
prostitusi
,
seks
,
sex
,
underground
Edit
2 komentar :
Mending beli togel2000.com dari pada main ke tempat protitusi mbok ada garukan,hahahahah
wahh mantep banget ulasannya, cuma sekarang yang di bali lagi kelihatan menjamur itu adalah esek esek yang berkedok spa dan tentunya igo banget
Post a Comment