Jakarta - Menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja tak selamanya bisa berleha-leha. Saat harus beroperasi melakukan razia dan penertiban, anggota Satpol PP tak jarang harus berhadapan dengan maut. Wahyu Herlambang, 38 tahun misalnya.
Anggota Satpol PP kelurahan Kebagusan, Jakarta Selatan ini mengaku tugas paling berkesan adalah saat melakukan penertiban tak jauh dari makam Mbah Priok di Jakarta Utara pada 2010 lalu.
Peristiwa penggusuran bangunan liar di sana juga termasuk operasi besar karena melibatkan hampir 2000 pasukan dari seluruh wilayah Jakarta, ditambah pasukan dari kepolisian. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat itu akan menertibkan gubuk-gubuk liar yang jadi tempat prostitusi di dekat makam Mbah Priok.
“Tapi masyarakat salah tanggap, disangkanya kita mau bongkar makamnya, jadi ormas sejabodetabek pada turun,” kata Wahyu.
Menurut dia, hampir semua personel Satpol PP terpojok oleh sekitar 5000-an massa yang sudah tersulut amarah. Tiga anggota Satpol PP tewas dalam bentrokan tersebut.
Wahyu mengaku saat itu turut dikejar-kejar massa. “Saya sudah pakai tameng pun tapi sampai kena cone block,” kata ayah tiga orang anak itu.
Kehidupan Satpol PP, kata Wahyu memang sering kali menyerempet bahaya karena sering menghadapi perlawanan dari masyarakat.
Sulaiman, 36 tahun, pun turut merasakan bagaimana peristiwa Tanjung Priok hampir merenggut nyawanya saat bertugas. “Saya kalau enggak kabur ya sudah mati karena terjebak di tengah-tengah massa saat itu,” kata dia.
Pria bertubuh tambun itu pun berinisiatif memanjat tembok setinggi 3-4 meter dan lari ke menyelamatkan diri ke arah markas marinir tak jauh dari pelabuhan.
“Tapi saya sempat kena bacok, saya bawa tameng saja masih digolok,” kata anggota Satpol PP Kecamatan Pasar Minggu itu. “Teman kami saja ada yang pura-pura kayak orang gila, pakai kolor, pinjam baju rombeng dan jalan kayak orang gila,” tambah Sulaiman. Dia sendiri saat itu memilih membuang seragam dan sepatunya.
Sebenarnya, untuk pekerjaan skala besar, Satpol PP selalu kerja sama dengan pihak kepolisian. Namun saat itu jumlah personel tak mampu memberikan perlindungan dan manghalau massa yang jumlahnya hampir 3 kali lipat.
“Bantuan pun tak bisa didatangkan karena jalanan sudah dikepung,” tutur Sulaiman. Dia menambahkan, evakuasi akhirnya dilakukan dengan bantuan perahu TNI Angkatan Laut.
Pada kesempatan itu, Endang Martoni pun terlibat serta. Ia ditugaskan bersama ratusan orang dari Satpol PP Jakarta Barat.
“Kami kocar-kacir dan dikepung habis-habisan. Mereka pakai Samurai, celurit, besi panjang dan lain-lain. Jangankan kami Satpol PP yang tak bersenjata hanya modal pentungan dan tameng, polisi dan tentara saja enggak bisa apa-apa saking banyaknya massa,” kata Endang.
Bertugas dengan bertaruh nyawa juga diakui oleh Andreas, Satpol PP Pasar Minggu. Pria berusia 28 tahun ini mengatakan ia juga sempat terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok namun bersyukur bisa lolos dari maut. Menurutnya, insiden tersebut jadi titik balik Satpol PP yang mulai mengurangi pendekatan kekerasan.
Ayah satu anak itu menilai pendekatan yang didorong oleh Gubernur Joko Widodo membawa banyak perubahan bagi Satpol PP dan juga mengurangi risiko adu fisik.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment