Modus Cepat Kaya Ala Pengemis

Modus Mengemis, dari Sewa Bayi Sampai Orang Buta

Pendapatan Pengemis
Jakarta - Maemunah, 42 tahun, hafal betul dengan kebiasaan para pengemis. Maklum hampir setiap hari warga RT 08 Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur itu bergaul dengan mereka. Selama ini kawasan Kebon Singkong sudah dikenal sebagai 'kampung pengemis'. Menurut dia, dari kebiasaan yang dilihatnya, rata-rata pengemis sengaja mengeluarkan jurus mautnya yaitu menggunakan anak usia di bawah lima tahun atau orang tua lanjut usia.

“Orang akan kasihan melihat pengemis bawa balita, kakek-kakek atau nenek-nenek,” kata Maemunah kepada detikcom Kamis (1/8) lalu. Sutinah, seorang pengemis yang membawa bayi mengaku adanya tambahan pendapatan dibanding dengan meminta-minta sendiri. Dia mengaku menjadi pengemis dengan membawa bayi sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Sebelumnya, ia menjadi pengemis single dengan penghasilan Rp 50- Rp 80 ribu per hari.

Saat membawa bayi dalam sehari Sutinah bisa membawa uang sedikitnya Rp 200 ribu. Apalagi di bulan puasa, pemasukannya mengalami peningkatan lumayan yang sehari bisa Rp 350 ribu. Saat malam takbiran Idul Fitri tahun lalu saja ia bisa mengantongi uang Rp 900 ribu. Biasanya pengemis yang berusia lanjut meminta sedekah dengan menyambangi rumah-rumah penduduk. Sementara orang tua yang membawa bayi mangkal di suatu tempat tertentu.

Selama bulan puasa dan musim hujan biasanya yang laku adalah orang tua yang tuna netra. Menurut Maemunah pengemis buta jadi rebutan karena akan menhasilkan duit banyak. Sekali jalan keliling pasar, jembatan atau stasiun bisa dapat Rp 600–Rp 700 ribu dalam sehari. Biasanya orang buta ini disewa sama pengemis yang sehat dan menuntunnya di jalan. Tapi, uang sewa orang buta ini mahal, yakni sekitar Rp 150 ribu sehari.

Kedua pengemis beda usia ini pun bersaing ketat soal pendapatan dan wilayah mengemis. Apabila dibandingkan dengan pengemis yang bawa bayi, pendapatan peminta-minta yang membawa orang buta masih unggul. Salah satu alasannya, karena kesehatan bayi rentan dengan kondisi jalan raya. Apalagi kalau lagi musim hujan, pengemis yang menyewa bayi kemungkinan akan berpikir dua kali. Sementara, kalau orang tua buta tidak terpengaruh sama cuaca dan kondisi. “Yang penting ada yang nuntun di jalan. Biasanya dia juga tuh yang sewa gandengan kaya mobil gandeng saja,” kata Maemunah.

Salah seorang pengemis asal Brebes, Eman, 42 tahun, yang tinggal di Kebon Kacang, Klender, Jakarta Timur menyebut ada persaingan antara pengemis yang membawa bayi dengan orang tua buta. Meski tinggal di satu kawasan, yakni Kebon Kacang mereka tak akur. Pengemis yang membawa bayi biasanya berasal dari Indramayu atau Cirebon. Sementara yang menggandeng orang tua buta berasal dari Brebes. “Yah, kami saingan,” kata Eman.

Bawa Bayi, Cara Jitu Pengemis Dongkrak Penghasilan

Jakarta - Berbagai cara dilakukan orang untuk mencari duit di Jakarta. Tak terkecuali para pengemis. Mereka yang sehari-hari mengandalkan belas kasihan dari orang lain ini memutar otak agar penghasilan yang dikaisnya dari jalanan meningkat.

Salah seorang pengemis yang sehari-hari mangkal di kolong jembatan layang Klender, Jakarta Timur, Sutinah, mengaku menjadi pengemis dengan membawa bayi sudah dilakoninya sejak dua tahun belakangan.

Sebelumnya, perempuan berusia 40 tahun ini menjadi pengemis single. Namun selama itu pula penghasilannya cuma cukup untuk makan dan bayar kontrakan. Melihat teman-teman seprofesinya berpenghasilan jauh lebih besar karena mengemis dengan membawa bayi, Sutinah lantas mengikutinya.

Diakuinya membawa bayi memang lebih membawa rezeki ketimbang mengemis sendiri. Dalam sehari, biasanya kalau mengemis sendiri paling banter ia hanya mengantongi Rp 50 ribu-Rp 80 ribu. Beda dengan kalau menggendong bayi. Sedikitnya ia bisa mendulang uang Rp 200 ribu. Apalagi di bulan puasa seperti yang baru lalu, pemasukannya mengalami peningkatan lumayan yang sehari bisa mencapai Rp 350 ribu. Saat malam takbiran Idul Fitri tahun lalu saja ia bisa mengantongi uang Rp 900 ribu.

Agar pendapatannya stabil, ia mengaku selalu berpindah-pindah tempat seperti dari kolong jembatan layang Klender, Stasiun Klender, hingga perempatan lampu merah Cipinang. Semua lokasi tersebut berada di Jakarta Timur. Selain menghindari persaingan dengan pengemis lain dan pengamen jalanan, Sutinah sengaja memilih tempat yang arealnya banyak dilewati orang.

Biasanya kalau mangkal dari pagi, selesai mengemis pukul 17.00 WIB. Tapi, kalau mulai dari siang, ia bisa sampai pukul 21.00 WIB. “Tungguin orang kerja pulang. Duit dari situ banyak kan kasihan lihat bawa bayi, Mas. Enggak perlu banyak ngomong juga,” ujar Sutinah yang berasal dari Brebes, Jawa Tengah, ini.

Ternyata tak hanya dengan membawa bayi saja sebagai cara untuk mendongkrak penghasilan. Lebih dari itu, ada hal yang mesti lebih diperhatikan dari sosok sang bayi agar bisa meraup rupiah lebih banyak lagi.

Dengan membawa bayi yang wajahnya terlihat lucu dan cakep, biasanya bayi seperti ini "sangat laku" ketika dibawa mengemis. Bayi seperti itu disadari kaum pengemis sangat berpotensi mendatangkan uang banyak karena disukai orang. Tapi, kalau bawa bayi yang kurus dan biasa saja, paling tidak jauh dari uang recehan. "Tapi kalau mau dapetin bayi yang cakep sekarang mah susah," tutur Sutinah.

*****

Maemunah, 42 tahun, warga RT 08 Kebon Singkong, Kelurahan Klender, yang tetangganya banyak menjadi pengemis, turut mengamati sepak terjang kaum miskin itu. Menurut Maemunah, dari kebiasaan yang dilihatnya sehari-hari, rata-rata pengemis sengaja mengeluarkan jurus mautnya yaitu anak di bawah umur dan orang tua lanjut usia. Kedua kelompok usia ini bersaing ketat soal pendapatan dan wilayah mengemis.

Biasanya yang orang tua lansia aktif jalan ke rumah-rumah. Beda dengan anak kecil yang mangkal di suatu tempat dan diawasi sama orang tuanya. “Kalau orang tuanya mah paling cuma lihatin. Kalau mereka ngemis enggak laku. Masih sehat kok ngemis. Beda sama anak kecil atau bayi, sama kakek-kakek atau nenek-nenek kalau dilihat kasihan,” katanya saat ditemui detikcom pekan lalu.

Pandangan Maemunah ini dibenarkan Minten. Pengemis asal Cirebon, Jawa Barat, yang biasa beroperasi di seputaran Condet, Jakarta Timur, ini mengaku tergiur dengan hasil yang didapat temannya yang sudah lebih dulu menjadi pengemis. Minten pun beberapa kali mengemis dengan membawa bayi. Jadwal Minten membawa bayi hampir setiap Kamis dan Jumat. Hasil mengemis dengan bayi diakuinya meningkat drastis.

Apalagi kalau hari Jumat. Dia mengaku kalau beruntung ia bisa dapat duit Rp 250 ribu dalam sehari. Pendapatan ini sebagian besar dari jemaah masjid. Beda kalau mengemis sendiri yang hanya mendapat kisaran Rp 60 ribu–Rp 80 ribu sehari.

Mafia Kuasai Sindikat Penyewaan Bayi Pengemis

Jakarta - Kontrakan rumah petakan itu terdengar berisik karena dua anak kecil yang berusia sekitar empat tahun berebut mainan tembakan. Tidak lama kemudian seorang perempuan paruh baya membentak keduanya agar diam karena hari sudah beranjak malam.

Begitulah sepintas kondisi rumah SM, 46 tahun, salah seorang pengemis. Berada di ujung gang-gang sempit kampung Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur, cukup sulit menemui rumah SM.

Kondisi rumah petakan yang luasnya hanya sekitar tujuh kali enam meter itu terlihat cukup rapi. Meski beberapa warna atap dan pintu rumah tampak sudah kusam karena sering terkena kebocoran hujan.

SM merupakan salah seorang pengemis yang disinyalir kerap menyewakan bayi laki-laki ke pengemis lain. Saat detikcom menghampiri rumahnya baru-baru ini, ia tampak bingung dan takut karena disangka petugas kepolisian. Sambutannya pun menjadi kurang ramah.

Ketika memasuki ruang tamu, sepertinya bayi yang sering disewakan tidak ada di rumahnya. Perempuan paruh baya ini mengaku sekarang hanya memiliki seorang bayi yang diperoleh dari tetangga di kampungnya, Indramayu, Jawa Barat, yang melahirkan sembilan bulan lalu. SM mengaku orang tua bayi itu tidak mampu sehingga si jabang bayi diajak hijrah ke Jakarta. "Mereka enggak mampu buat beli susu dan macam-macam, ya saya bawa bayinya ke sini,” kata dia.

SM menyangkal kalau dianggap menyewakan bayi. Dia lebih setuju kalau disebut membantu sesama teman pengemis asal Indramayu dan Cirebon. “Enggak lah, Mas itu kan dipinjemin. Duitnya juga lagian saya kirim ke orang tuanya di sana," tutur SM.

Dia mengaku aktivitas meminjamkan bayi baru dilakukan dua bulan ini. Pelanggannya tidak jauh dari teman dekat sesama pengemis asal Indramayu dan Cirebon. Suami SM adalah MM, yang juga pengemis dari Cirebon. Bila di luar dua daerah itu, SM enggan meminjamkan bayi adopsinya. “Kasihan lah, Mas. Mendingan ikut saya cari duit dari pada pinjemin yang lain dari Brebes, Jawa lain,” ujarnya agak lirih.

Soal tarif sewa, SM tidak mematok harga. Hanya, ia meminta ada kesadaran agar bayi yang dirawatnya itu tetap bisa minum susu. Tidak jauh tarifnya di kisaran Rp 30 ribu-Rp 40 ribu per hari. Kadang kalau lagi ramai, SM berani menagih uang sewa Rp 50 ribu per hari. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal. “Kita orang kecil. Ke Jakarta cuma cari makan. Bukannya minta-minta, tapi cuma ini yang kami bisa,” kata perempuan bertubuh gemuk itu dengan nada ketus.

*****

Berbeda dengan pengakuan SM, salah seorang pengemis asal Brebes, Eman, 42 tahun, yang juga tinggal di Kebon Singkong mengatakan SM sudah bertahun-tahun menyewakan bayi untuk pengemis lain di Kebon Singkong. Tapi, memang cara SM menyewakan juga rapi dan pilih-pilih.

Namun Eman membenarkan kalau bukan pengemis asal Indramayu atau Cirebon, SM tidak bakal mau menyewakan bayi. “Di sini, kita kurang dekat dan enggak akur. Kalau mereka kan gede duit dari bayi. Kalau kita yang Brebes ini dari orang tua kakek-kakek buta. Yah, saingan gitu, Mas,” ujarnya saat ditemui detikcom menjelang Lebaran lalu.

Eman menceritakan sebelum bayi laki-laki sekarang, anak kandung SM yang bontot, yaitu ZN, 4 tahun, sering disewakan SM untuk mengemis sampai umur dua tahun. Tapi, karena sudah besar, ZN sekarang lebih sering mengamen di perempatan lampu merah Klender dekat stasiun.

Ia juga mengungkapkan kalau bayi yang disewakan SM lagi berada di rumah pengemis lain karena sudah di-booking seminggu. “Ada itu di rumah yang lain. Saya tahu kok orang-orang sini,” kata pria berpeci ala tukang sate itu.

Ditanya soal sindikat koordinator penyewaan bayi, Eman mengaku kurang tahu. Tapi, kalau pengaturan pengemis orang buta ia mengetahui. Kata dia, biasanya kalau orang buta itu punya “asisten” yang mengatur penyetoran jatah ke preman setempat. Ia mengatakan urusan pengemis, bayi, dan orang buta itu ibarat celah yang menguntungkan buat disetor. “Saya tahu Mas karena sering nuntun dan sewa orang buta. Orang buta sama bayi itu gede duitnya. Makanya dilindungin. Habis itu anak-anak kecil yang duitnya gede,” ungkap Eman blak-blakan.

*****

Di salah satu pojok kolong jembatan layang Klender, detikcom menjumpai Sutinah saat sedang duduk sandaran dengan hanya beralaskan dua lembar koran bekas di salah satu pojok kolong jembatan.

Mengenakan daster warna hijau dan sandal jepit, seringkali ia menadahkan mangkuk plastik sebagai tempat menaruh duit hasil belas kasihan. Di dalam kain gendongan motif batiknya yang kusam, ada bayi mungil. Tidak ada senyum di wajahnya. Hanya diam dengan tatapan wajahnya sambil menyusui bayi yang berusia sekitar delapan bulan itu. Sesekali ia mengeluarkan suara iba bila ada orang yang melintas. “Pak, kasihanin. Sedekahnya sedikit aja,” kata perempuan berusia sekitar 40 tahun itu.

Menunggu waktu yang tepat agar bisa mengajak ngobrol Sutinah memang harus sabar. Barulah pukul 20.00 WIB ketika dia ingin pergi dan suasana agak sepi, detikcom mencoba menghampiri dengan memberikan makanan nasi bungkus serta sedikit uang. Sikapnya polos tapi terkesan hati-hati ketika berbicara dengan perempuan asal Brebes ini. Awalnya, ia menyangka detikcom adalah seorang petugas Kepolisian Pamong Praja yang sedang menyamar untuk menangkapnya.

Soal bayi yang digendongnya, ia mengakui kalau itu bukan anak kandungnya. Sutinah hanya menyebut bayi itu anak dari saudaranya yang juga pengemis di tempat lain. Sebagai uang terima kasih, ia setiap hari memberi setoran kepada saudaranya itu sebesar Rp 35 ribu. "Tapi kalau lagi dapat duit banyak saya kasih Rp 60 ribu sehari," ungkapnya.

Sutinah juga mengaku kalau dirinya sudah sering gonta ganti bayi. Kalau urusan mengemis, ia mengatakan bayi lucu dan cakep biasanya uang sewanya agak mahal, yakni bisa Rp 100 ribu sehari.

Dia juga merasa kapok kalau menyewa bayi dari orang lain yang bukan saudaranya. Selain uang sewa mahal, syaratnya juga agak ribet. Kalau bayi yang dibawa sakit karena kena hujan, Sutinah harus menanggung biaya obat atau cara lain menyetor minimal Rp 150 ribu.

Bila tidak dilakukan, jangan harap bisa mangkal di tempat favoritnya mengemis karena pasti dikejar dan ditagih terus. Tapi, kelebihan menyewa bayi sama “bos” pengemis yang senior bakal dikasih tempat yang banyak dan bebas memilih. Tapi, apesnya kalau lagi dapat duit banyak, selain biaya sewa juga harus nyetor wajib Rp 70 ribu sehari. Sementara, kalau menyewa bayi sama saudaranya, tidak terlalu banyak aturan. “Sama aja sih ya. Tergantung janji kita sama dia bagaimana. Cuma kan kalau saudara enggak bawel,” ujarnya.

Agar Tak Rewel, Bayi Sewaan Pengemis Diberi Obat Khusus

Jakarta - Kalau diperhatikan, setiap pengemis yang beroperasi dengan menggendong bayi, jarang sekali terlihat sang bayi rewel, apalagi sampai nangis. Bagaimana sampai sang bayi bisa anteng-anteng saja atau selalu terlelap?

Dari penelusuran detikcom, para pengemis menyiasatinya dengan memberi obat khusus agar si bayi tidak gampang rewel. Hal ini terungkap dari pengakuan Minten, seorang pengemis yang biasa meminta belas kasihan di seputaran Condet, Jakarta Timur.

Perempuan berusia 46 tahun yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat, itu mengungkapkan agar bayi tetap anteng saat dibawa mengemis, sudah diatur oleh sang ibu bayi.

Minten mengaku cuma menyiapkan susu sebelum menjemput si bayi. Tapi, katanya, bayi itu sudah dikasih obat bayi yang biasa dipakai pengemis untuk anak balita. Ia mengaku tidak tahu nama obatnya.

Lagian, Minten melanjutkan, bayi yang dibawa pengemis harus kuat dan tidak cengeng. “Kalau nangis terus yang ada kita malah kerepotan di jalan. Tapi, kalau yang (bayi) ini, sudah biasa. Jadi, enak juga dibawanya,” ujarnya enteng tanpa ada perasaan bersalah telah mengeksploitasi bayi.

Cara Minten mengemis memang berbeda dibanding pengemis lainnya yang juga beroperasi di kawasan Masjid Al Ahwi, Condet, saat dijumpai detikcom pada Jumat pekan lalu. Hanya dia yang berani membawa bayi berusia sekitar sebelas bulan karena yang lain anak-anak dan sebagian perempuan paruh baya. Tidak ada rasa takut membawa bayi di tengah teriknya panas Matahari. Tidak pula terlihat canggung karena seperti sudah terbiasa. Bayi yang digendongnya tampak anteng meski hanya terbalut kain gendongan kucel seadanya.

Maemunah, warga RT 08 Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur, yang lingkungan sekitar rumahnya banyak dihuni kaum pengemis mengaku miris dengan cara-cara yang dilakukan para tetangganya itu.

Penjual jajanan gorengan dan nasi uduk ini menuturkan fisik kesehatan bayi sangat rentan dengan kondisi jalan raya yang dipenuhi debu dan polusi. Apalagi kalau sedang musim hujan, Maemunah mengakui para pengemis yang menyewa bayi sebenarnya juga berpikir dua kali untuk membawa bayinya ke jalanan.

Karena itu, Maemunah mencoba menjelaskan, bayi yang akan disewa buat mengemis kalau musim hujan agak susah. Namun, yang ia ketahui bayi itu datang dari luar Jakarta atau dari kampungnya pengemis. “Kalau bulan puasa mereka rombongan itu datang. Tapi, enggak tahu ada bayi atau enggak. Biasanya bayi pake yang kuat dan ada pengalaman. Jadi, enggak cengeng,” ujarnya.

About Blogger

Jakarta Sex and Mystery Magazine "JakartaBatavia Magz" - Enjoy and Relax here.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :