Obral Murah Data Nasabah
Tampilan situs jual beli data nasabah milik C, warga Bogor, Jawa Barat
”ButuhDanaCepat* (Dgn BPKB Mobil), leasing resmi & aman, bisa t.over, tidak BI check, mulai 0,8 %/bln, info hubungin 081212218282 dan 081219222765.”
Sering menerima pesan singkat serupa terkait penawaran pinjaman uang dari seseorang? Atau tiba-tiba ditelepon seseorang yang mengaku sebagai tenaga telemarketing sebuah perusahaan jasa keuangan atau perbankan yang menawarkan produk asuransi atau pembuatan kartu kredit?
Tentu kita masih ingat, sebelum ada ponsel, untuk mencari alamat dan nomor kontak, kita mengandalkan buku Yellow Pages atau Yellow Bisnis secara manual. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, basis data kini menggunakan jaringan internet. Media online atau media sosial pun kini bisa digunakan untuk mencari data seseorang, bahkan untuk praktik jual-beli data nasabah dan data lainnya.
Seorang sumber yang mengetahui seluk-beluk bisnis data nasabah mengungkapkan, biasanya data nasabah atau nomor kontak calon investor dan sebagainya itu didapatkan oleh orang yang bekerja sebagai tenaga marketing. Kebanyakan di antara mereka saling tukar informasi. Apalagi sebagian besar tenaga marketing bank atau investasi ini berstatus freelance atau pekerja lepas.
“Dapatnya dari situ. Tukar-tukaran sesama marketing. Anak buah gue banyak. Mereka pergi ke mal ada pameran mobil. Kartu nama marketing-nya dia ambil, terus mereka dihubungi, ‘yuk tukaran’, terus mau,” ujar pria yang kini menjadi pialang sekaligus kepala cabang sebuah perusahaan investasi berjangka di Bandung itu kepada detikX.
Data nasabah bank dijual dari Rp 250 ribu hingga jutaan rupiah.
Sewaktu masih menjadi tenaga marketing di Jakarta, sumber ini mengaku pernah membeli data kepada rekan sesama profesi. Pada 2000-an itu, ia pernah membeli dengan harga Rp 200 per satu data nasabah. Dia membeli 2.000 data sekaligus dengan harga Rp 400 ribu. Data yang dibelinya saat itu sudah dalam bentuk CD. “Beli ada password-nya. Dalam sebulan kekunci sendiri. Ada tuh gue pernah beli paket Rp 750 ribu, banyak bener.”
Zaman sekarang transaksi kartu kredit menggunakan PIN. Itu untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan."
Yang jelas, dari data yang dibelinya itu, belum pernah ada nomor rekening. Kalaupun ada, pasti nomor rekening itu palsu. Sebelum membeli, ia mengecek lebih dulu validitas separuh data itu. Ia juga akan mencocokkan data di lapangan, di antaranya alamat rumah.
Ia menjelaskan, untuk memperoleh data nasabah hingga ke nomor rekeningnya, dulu sangat sulit. Semua perbankan atau perusahaan jasa keuangan sangat ketat menjaga kerahasiaan. Tapi itu bisa saja bocor di bagian IT, teller, customer service, dan telemarketing bank. Hanya, kalau mereka membuka data nasabah, apalagi mencetak atau men-download, akan terlacak jejaknya.
Karena itu, hanya satu orang pejabat di sebuah kantor perbankan yang memiliki kewenangan membuka atau tidaknya. Hal itu pun harus seizin pengadilan bila ingin membuka nomor rekening. Pejabat yang bisa membuka hanya setingkat manajer, supervisor, atau kepala cabang di kantor yang bersangkutan.
Bisa saja data nasabah dengan nomor rekening didapatkan dengan cara manual, yakni menyalin data di komputer atau dalam catatan sendiri. Bila setiap hari disalin 10-20 nama, seminggu atau sebulan sudah ratusan nama dikumpulkan. Dan yang diincar nasabah yang memiliki simpanan minimal Rp 50 juta. Karena data itu biasanya digunakan untuk mendapatkan klien buat ditawari produk. “Caranya begitu mereka kadang-kadang,” tuturnya.
Pengamat perbankan David Sumual tak memungkiri adanya oknum perbankan yang menjual data nasabah kepada pihak ketiga. Pelaku penjual atau pencurian data nasabah bisa saja dilakukan perorangan. Bisa saja data yang dijual itu dimanfaatkan oleh sindikat lainnya. “Bisa siapa pun sebenarnya. Dan bagian-bagian itu memang harus hati-hati. Jangan sampai datanya itu nyasar ke mana-mana. Dulu kan ada itu kasusnya kasir-kasir yang bekerja sama dengan oknum,” ujar David kepada detikX.
Menurut David, yang kerap menjadi korban pencurian data nasabah adalah pengguna kartu kredit. Pada dasarnya semua perbankan sudah meminta agar nasabahnya berhati-hati dan bijaksana saat bertransaksi. Saat ini rata-rata kartu kredit sudah menggunakan PIN dan chip sebagai keamanan nasabah dalam bertransaksi. “Zaman sekarang transaksi kartu kredit menggunakan PIN. Itu untuk mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan,” katanya.
Dari penelusuran detikX, memang masih banyak situs yang menawarkan jual-beli data, tak hanya data nasabah perbankan, tapi juga data investor, data pengusaha, data pemilik kendaraan mewah, data pemilik apartemen, bahkan sampai member golf. detikX mencoba menghubungi salah satu penjual di salah satu situs tersebut.
Data nasabah Kredit Kepemilikan Rumah juga menjadi obyek jual beli data nasabah.
Ternyata penjual yang ada di situs itu merespons saat dihubungi. Tapi ia memastikan data yang dijual tak ada nomor rekening nasabah. Dia menawarkan paket 100 ribu data dengan harga ‘hanya’ Rp 950 ribu. Ketika diminta ketemuan, ia mengaku hanya bisa cash on delivery (COD) di Bandung. Ia berjanji akan mengirimkan e-mail contoh data dalam keadaan terkunci. Password data baru dikirimkan ketika uang sudah ditransfer.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mensinyalir praktik jual-beli data nasabah itu sudah lama dilakukan di kalangan marketing bank dan investasi untuk mendapatkan klien. Hanya, OJK baru melakukan operasi intelijen sejak 2016 hingga 2017. Beberapa kali pegawai OJK ditugasi menghubungi para penawar jasa jual data nasabah.
Mereka melakukan mystery shopping. Petugas melacak dan menelepon penjual data nasabah sampai alamat rumahnya serta harga paket data yang dijual. Setelah semua didapatkan, baru tim akan turun ke lapangan. Operasi ini dilakukan di Jabodetabek, Malang, dan Surabaya.
“Kalau sudah deal, kita janjian mau beli paket. Memang waktu itu harga yang ditawarkan paling murah Rp 350 ribu per paket. Biasanya dia nggak mau cash, ketemuan fisik dia nggak mau,” kata Direktur Market Conduct OJK Bernard Wijaya kepada detikX, Rabu, 30 Agustus 2017.
OJK menemukan 10 laman website yang diketahui menjual data nasabah. Data yang dijanjikan rata-rata 1-2 juta jumlahnya. Data itu berisi nama, alamat, nomor telepon, nomor rekening, nomor kartu kredit, dan nama lembaga keuangan. Setiap paket data dipatok dengan banderol Rp 250-950 ribu, tergantung kelengkapan data yang dibutuhkan.
Namun hingga kini OJK belum tahu pihak ketiga mana saja yang membeli data nasabah tersebut. Yang jelas, konsumennya pasti berhubungan dengan tenaga marketing perbankan, perusahaan jasa keuangan, atau perusahaan lainnya. "Masyarakat harus hati-hati. Mungkin mereka nggak sadar ya itu memberikan nama, alamat, dan nomor ponsel pada saat membeli produk. Kan biasanya sering ya itu," ujarnya.
Rahasia Terlarang Jual Beli Data Nasabah
bisnis
,
investigasi
,
modus operandi
,
polisi
,
reportase
,
telisik
,
telusur
Edit
0 komentar :
Post a Comment