Menguak Habis Kesuksesan Bisnis Esek-Esek Di Dolly

Cara Melanggengkan Bisnis Esek-esek di Dolly

Surabaya - Pengusaha esek-esek di Dolly dan Moroseneng, Surabaya, Suheri, mengungkapkan cara melanggengkan usahanya di bidang pemuas syahwat. Suheri akan membiarkan pekerjanya keluar dan menjalani kehidupan lain yang dinilai lebih baik.

Suheri mengatakan semakin senang jika banyak penjaja seks di wismanya keluar dan berhasil merajut mimpinya. Biasanya, kata dia, orang desa akan terpacu mengikuti jejak tetangganya yang berhasil tatkala bekerja di kota besar. "Tetangganya pasti tanya, kerja di mana? Jadi saya malah senang. Bukan malah rugi," kata Suheri di Wisma Putri Kuning 2, kawasan lokalisasi Moroseneng, Senin pekan lalu.

Di Dolly, ia mengaku mempunyai Wisma Ratu kembar. Saat ini, pekerja seks di bawah naungannya sebanyak 22 orang, di Wisma Putri Kuning 2 sebanyak 10 orang dan Wisma Ratu Kembar sejumlah 12 orang.

Ia mengatakan, semakin banyak pekerja seks berhasil, semakin banyak regenerasi terjadi di wismanya. Masalahnya, tidak banyak PSK yang keluar dari "lembah hitam". Ia membuka wisma di Dolly sejak 2004 dan di Moroseneng sejak 2007. Sedikitnya ada 600 pekerja seks yang ikut bekerja di wisma miliknya. Dari jumlah itu, tak satupun pekerja seks yang lulus sekolah dasar.

Suheri mengatakan, dari 600 pekerja seks, 50 persen kehidupan mereka semakin terpuruk dari tujuan awalnya. Tujuan awal yang dimaksud Suheri adalah memperbaiki kondisi ekonomi pribadi dan keluarganya. Adapun 30 persen kondisinya stagnan, 15 persen pekerja seksnya meninggal akibat penyakit, dan 5 persen sisanya berhasil mewujudkan cita-cita.

Suheri enggan membuka pundi-pundi rupiah yang berhasil direguk setiap bulan dari bisnis haram tersebut. Ia mengaku tak selalu untung, adakalanya merugi karena duit terus berputar. Jika hanya memikirkan diri sendiri, Suheri memastikan bisnis esek-esek sangat menguntungkan. "Tapi kalau dikembalikan ke anak-anak, enggak ada apa-apanya. Uang itu berputar terus, dipinjam lah, dibuat perbaiki AC, dan kebutuhan lainnya," ujarnya.

Suheri mengaku merawat para PSK membutuhkan biaya sangat besar. Karena minim pendidikan, katanya, pekerja seks hanya mengandalkan emosi tanpa berpikir panjang. Suheri menegaskan 600 pekerja seks yang pernah ikut dirinya adalah bodoh. "Lebih enak mengurus orang pandai."

Semalam, Satu PSK Dolly Layani 10 Tamu

Surabaya - Salah satu pekerja seks komersial di Gang Dolly, Surabaya, sebut saja namanya Sinta--bukan nama sebenarnya--mengaku dalam semalam ia mampu melayani lima sampai tujuh orang pelanggan. Tapi, kalau sedang malam Minggu, pria hidung belang banyak berkunjung. Saat itu, dalam semalam, ia bisa melayani 10 sampai 13 orang.

Dikatakan Sinta, tarif untuk kencan dengan dirinya tergolong cukup tinggi untuk kelas PSK Dolly. Sekali booking Rp 200 ribu. Uang itu diberikan pelanggan untuk mendapatkan servis main seks selama satu jam plus dua kali karaoke. “Tarifnya setiap wisma memang berbeda-beda, mas, tergantung kelasnya,” ujar perempuan betubuh sintal itu kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2013.

Perempuan yang sudah lima tahun bekerja sebagai pelacur di Gang Dolly ini mengaku dari hasil melayani tamunya, ia mendapatkan bagian 30 persen dari tarif yang ditetapkan oleh pengelola wisma. Pemilik wisma mendapatkan bagian 60 persen, sementara 10 persennya diberikan kepada calo atau makelar yang bertugas mencari pelanggan di depan wisma. “Ya, kalau dihitung-hitung cukuplah untuk makan dan dikirim ke kampung,” katanya kepada Tempo di wisma New Barbara, Surabaya, Rabu, 9 Oktober 2013.

Sinta, yang kini berusia 32 tahun, mengatakan ia tidak boleh menerima uang langsung dari para pelanggannya. Pembayaran semuanya dipusatkan di kasir yang ada di ruangan utama wisma. “Jadi kami tidak bisa pegang uang langsung,” katanya.

Sinta bisa menikmati hasil kerja kerasnya pada saat pagi hari setelah semua wisma tutup, yaitu sekitar pukul 04.00 WIB. Pemilik wisma akan membagikan penghasilan mereka setelah dipotong utang-utang.

Wisma Barbara adalah salah satu wisma terbesar di Gang Dolly. Saat ini, menurut Lurah Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Bambang Hartono, ada 52 wisma resmi di Dolly dengan jumlah PSK 1.025 orang dari berbagai daerah. Ada ketentuan bahwa semua wisma di Dolly dilarang menerima pekerja seks baru. Larangan ini bertujuan agar jumlah pekerja seks di lokalisasi terbesar di Jawa Timur itu tidak semakin bertambah.

Prostitusi di Dolly, Siapa yang Diuntungkan? 


Surabaya- Tidak semua pekerja seks komersial di Gang Dolly, Surabaya, merasa diuntungkan dengan bekerja sebagai pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Shinta (bukan nama sebenarnya), misalnya, meski sudah lima tahun jadi PSK, ia tak bisa keluar dari wisma karena diikat oleh muncikari yang mengasuhnya.

"Yang paling diuntungkan dari bisnis kenikmatan ini adalah muncikari dan pemilik wisma, Mas," kata salah seorang PSK penghuni wisma New Barbara, di Gang Dolly, kepada Tempo, Rabu, 9 Oktober 2013.

Menurut Sinta, setiap kali melayani tamu, dirinya hanya mendapatkan jatah 30 persen dari tarif yang ditetapkan oleh pengelola wisma. Sementara 60 persennya masuk ke kantong muncikari dan 10 persennya lagi dibagikan kepada calo atau makelar yang bertugas mencari pelanggan di depan wisma.

Dikatakan oleh Sinta, tarif untuk dirinya setiap jam Rp 200 ribu. Dari situ ia mengantongi uang cash dari setiap tamunya sebesar Rp 60 ribu. Tetapi uang itu juga harus ia keluarkan lagi untuk dibagikan kepada pembantu yang mencuci seprai dan baju-bajunya yang digunakan saat melayani tamu. "Jadi bersih untungku hanya Rp 40 ribuan," ujarnya.

Tak hanya itu, Sinta juga harus mengeluarkan uang untuk merawat kecantikan dan membeli jamu-jamuan agar dirinya tetap segar dan cantik. Setiap dua hari sekali minimal dirinya harus mengeluarkan uang Rp 20 ribu untuk membeli jamu tradisional guna merawat bagian vitalnya. "Kalau muncikari, kan, tinggal bayar sewa sama pemilik wisma saja, beres urusan," katanya.

Edsus Dolly...

Salah seorang calo di Dolly, Rian, mengatakan memang yang paling diuntungkan dari keberadaan Dolly adalah para muncikari dan pemilik wisma. "Kalau PSK-nya, sih, sama seperti kita-kita ini," ujarnya.

Karena keuntungan besar itulah, menurut Rian, para muncikari mengikat para anak asuhnya agar tidak bisa lari dari wisma. Caranya dengan memperketat aturan para PSK-nya agar tidak berkomunikasi dengan orang di luar lingkungan.

Para germo juga mengikat PSK-nya dengan membebani mereka utang-utang yang banyak. "Mau gimana lagi, namanya orang cari untung, ya, itu sah-sah saja mereka lakukan," kata Rian.

Seorang kasir di Wisma Jaya Indah, Slamet, mengatakan aliran uang dari bisnisnya juga dinikmati aparat pemerintah hingga level kelurahan. Kepada Tempo, Slamet menunjukkan kupon iuran bulanan berwarna hijau yang disetorkan ke RT dan RW setempat.

Lewat RW, ujarnya, uang itu terciprat ke level kelurahan. Setiap PSK wajib membayar iuran level RT sebesar Rp 3.000 dan level RW sebanyak Rp 100 ribu per wisma. Belum lagi iuran tenaga keamanan setiap harinya sebanyak Rp 30 ribu per wisma.

Semakin banyak PSK dalam satu wisma, iuran yang dibayarkan semakin mahal. Bosnya juga harus menyewa wisma dengan tarif Rp 15 juta per bulan. Bagi hasil antara germo dan PSK sebesar 60:40. Wismanya membanderol PSK seharga Rp 90 ribu per satu jam. Dari hasil itu, Rp 34 ribu masuk kantong PSK, Rp 13 ribu ke calo, dan sisanya jatah muncikari atau germo. Germo-lah yang mengatur soal pembayaran ke RT, RW, dan kelurahan. "Ini sewa, rata-rata pemilik wisma sewa. Setiap hari penghasilan wisma sekitar Rp 1 juta," ucap Slamet.

PSK Dolly Dapat 30 Persen Tarif Layanannya 

Surabaya - Seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) di Dolly, sebut saja Sinta, mengaku setiap harinya ia bisa melayani lima sampai tujuh orang. Pada malam Minggu, ia bisa melayani 10 sampai 13 orang. “Ya, kalau dihitung-hitung, cukuplah untuk makan dan dikirim ke kampung,” kata Sinta kepada Tempo di wisma New Barbara, Surabaya, Rabu, 9 Oktober 2013.

Sinta sudah lima tahun berkeja di Dolly. Dari tamu-tamunya, dia mendapat 30 persen dari tarif yang ditetapkan oleh pengelola wisma. Pengelola mendapat bagian 60 persen, sisanya diberikan kepada calo yang mencari pelanggan di depan wisma.

Sinta mengakui tarif untuk dirinya cukup mahal. Sekali booking Rp 200 ribu, dengan perincian ‘main’ selama satu jam plus dua kali karaoke. “Tarifnya setiap wisma memang berbeda-beda, mas, tergantung kelasnya,” kata dia.

Perempuan berusia 32 tahun itu mengaku tidak bisa menerima uang langsung dari para pelanggannya. Semua pembayaran dipusatkan di kasir yang berada di ruangan utama wisma. “Jadi, kami tidak bisa pegang uang langsung,” kata dia.

Sinta baru bisa menikmati hasil kerja kerasnya setelah semua wisma tutup, yaitu sekitar pukul 04.00 WIB. “Tapi jam tiga biasanya sudah sepi,” ujarnya.

Dolly van der Mart, Cikal Bakal Gang Dolly Surabaya

Surabaya- Nama Gang Dolly sudah ada sejak zaman Belanda. Waktu itu ada seorang perempuan keturunan Belanda yang bernama Dolly van der Mart. Perempuan inilah yang menjadi pengagas kompleks prostitusi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, itu.

“Sebelum jadi tempat prostitusi, ini dulu makam Tionghoa, Mas. Karena tempat ini ramai, makamnya dipindah,” kata Nining, warga yang sejak kecil hidup di kawasan lokalisasi Dolly, Surabaya, kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2013.

Menurut Nining, Tante Dolly pada masanya menyediakan perempuan pemuas nafsu bagi para tentara Belanda yang berada di Surabaya. Jumlah perempuan di bawah asuhan Tante Dolly belum seberapa. Lambat laun, geliat permainan para tentara Belanda dengan anak asuh Tante Dolly menarik perhatian masyarakat umum. Ceritanya pun membuat penasaran kaum pria di sana. Mereka pun mulai menjajalnya.

Cerita berkembang. Nama Dolly akhirnya dikenal ke seluruh penjuru. Dolly sempat disebut sebagai lokasi prostitusi terbesar di Asia. Orang seolah membayangkan Dolly ketika pertama kali menjejakkan kaki di kota ini.

Kehadiran banyak orang di Dolly membawa berkah bagi masyarakat di sekitarnya. Warga sekitar membuka usaha lapak-lapak kaki lima. Yang dijajakan beragam, dari warung kopi, nasi goreng, jamu tradisional, sampai obat kuat. “Coba tidak ada Tante Dolly, tempat ini tidak akan seramai sekarang,” kata Nining.

Keturunan Tante Dolly diyakini masih berada di sekitar Surabaya. Mereka tak lagi meneruskan bisnis yang didirikan leluhurnya itu. Walaupun sampai kini tak pernah ada yang bisa memastikan daerah tempat tinggal keturunannya itu.

Jejak Dolly van der Mart

Seorang pengurus RW 7, Kelurahan Putat Jaya, mengungkapkan, ketika Tante Dolly meninggal, jenazahnya tak dimakamkan di Surabaya. Dolly diduga menghabiskan masa tuanya di Malang. Di sanalah jenazah Dolly diduga dimakamkan.

Dalam buku yang ditulis oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, diungkapkan pula asal muasal adanya Gang Dolly. Tulisan dalam buku itu menyebutkan, kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.

Pada tahun 1966, bangunan makam di kawasan itu dihancurkan oleh para pendatang. Orang Tionghoa dilarang memakamkan jenazah baru di tempat tersebut. Setahun kemudian, datanglah seorang pelacur yang bernama Dolly Khavit.

Ia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu kini disewakan kepada orang lain.

PSK di Dolly Mengaku Tidak Suka Pria Perkasa

 Surabaya - Pekerja seks komersial di Gang Dolly, Surabaya, mengaku tidak suka melayani pria yang perkasa saat berhubungan intim. Mereka malah suka pada pria yang loyo, lebih-lebih pria peltu alias nempel metu (ejakulasi dini).

Ketemu pria-pria yang begitu jadi kesukaan perempuan penjaja tubuh. Para PSK mengaku tidak perlu capek dan tidak perlu memakan waktu lama untuk memuaskan nafsu pelanggannya. “Kalau orgasmenya lama, kami capek harus melayani mereka sampai puas," kata salah seorang PSK di Wisma Nusa Dua, Bella Aprilia, kepada Tempo di Wisma Nusa Dua, Jumat, 11 Oktober 2013.

Bella mengatakan, banyak tamunya yang mengkonsumsi obat kuat sebelum bermain dengannya. Menurut dia, melayani pria yang di bawah pengaruh obat kuat sangat sulit dan melelahkan karena tenaganya akan terkuras habis untuk melayani. Ditambah lagi kalau pria tersebut bermain dalam kondisi mabuk.

Sebaliknya, Bella sangat senang kalau melayani tamu yang cepat terangsang dengan rayuan dan kecantikannya. Pada tipe pria seperti ini, menurut dia, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk orgasme. "Syukur-syukur kalau baru masuk saja sudah orgasme, itu sangat membantu pekerjaanku," katanya.

Sinta, salah seorang PSK di Wisma Lancar Jaya di lokalisasi Gang Dolly, mengaku, saat bekerja di dalam wisma, dirinya dan rekan-rekan seprofesi memang lebih suka pada lelaki yang tidak perkasa. "Tapi sebetulnya, kalau di luar profesiku jadi PSK, aku tetap suka pria yang jantan, aku kan normal," ujarnya.

About Blogger

Jakarta Sex and Mystery Magazine "JakartaBatavia Magz" - Enjoy and Relax here.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :