'Duren Parung' di Warung Remang-remang
Godaan Cewek Warem Berkedok Bardut
Bogor - selepas isya, arus lalu lintas terlihat ramai dan lancar di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor. Kendaraan melaju di dua lajur jalan, baik yang menuju arah Bogor maupun Jakarta.
Sudah sejak lama kawasan ini tersohor dengan banyaknya warung remang-remang alias warem. Namun, warung-warung yang menjual aneka penganan dan minuman itu tidak hanya berada di pinggir jalan. Tak sedikit yang letaknya berada di dalam gang. Wanita-wanita penjaja tubuh dipajang di pinggir jalan untuk menarik pengendara agar mampir ke warung.
Menjelang tengah malam, jumlah cewek-cewek berdandan seronok yang lazim dijuluki "duren Parung" di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan, baik sendiri, berdua maupun berkelompok.
Geliat prostitusi terlihat begitu kentara di sepanjang Jalan Jampang, perbatasan Parung-Kemang, Kabupaten Bogor. Puluhan wanita mulai yang muda hingga menjelang usia paruh baya berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan dan menggoda pengendara yang melintas.
Dandanan para wanita ini beragam. Ada yang tampak mencolok memamerkan lekuk-lekuk tubuh dengan pakaian seksi hingga yang terlihat agak sopan. Tak hanya di pinggir-pinggir jalan mereka beroperasi. Dalam menjalankan aksinya mereka juga tersebar di berbagai tempat hiburan malam.
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kawasan ini ditunjang dengan berdirinya banyak diskotek, kafe, dan bar yang menyuguhkan musik dangdut. Selain maraknya bar dangdut atau yang dikenal dengan sebutan bardut, beberapa motel dan hotel transit dalam kurun 10 tahun terakhir juga berdiri di daerah ini. Para wanita penjaja cinta ini dengan mudah banyak ditemui di warem-warem yang berkedok kafe atau bardut.
Keberadaan warung remang-remang di Parung sudah eksis sejak lama. Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia, Arifin Purwakananta, menyoroti sudah lamanya fenomena warem di Parung dilihat dari jumlah wanita nakal dan kondisi waremnya serta masyarakat setempat yang seperti membiarkan terlalu lama.
Arifin mengungkapkan sejak ia tinggal di dekat daerah Parung pada 2001, keberadaan warem memang sudah sangat mencemaskan. Banyak wanita nakal yang masih muda belia mangkal di pinggir jalan.
Ia menyebut perempuan-perempuan tersebut banyak berasal dari Jawa Barat seperti Indramayu dan Sukabumi. Jumlahnya sekarang diperkirakan semakin bertambah. “Saya enggak tahu pastinya. Tapi, saya duga ini sudah lama bahkan puluhan tahun lebih sebelum saya tinggal di sini pada 2001,” kata Arifin
Praktik 'Duren Parung' Sudah Seperti Jalur Pantura
Jakarta - Keberadaan warung remang-remang di Parung, Bogor, Jawa Barat disebut sudah ada sejak tahun 1960-an. Meski sudah berulang kali ditertibkan toh bisnis jasa layanan seks di tempat tersebut tetap marak hingga kini.
Adanya anggapan bahwa masyarakat diuntungkan dengan keberadaan wanita penjaja seks komersiil membuat praktik prostitusi di Parung tetap berlangsung.
Menurut Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS), Arifin Purwakananta pola pikir masyarakat yang diuntungkan dengan keberadaan wanita nakal membuat praktik prostitusi ini tetap ada.
Penyediaan akan pasokan rumah kontrakan, warung, hingga makanan dibutuhkan untuk eksistensi kegiatan warung remang-remang ini. “Kondisi ini akut ya karena sudah lama dibiarkan. Sudah seperti jalur Pantai Utara Jawa karena sering truk-truk mampir,” kata Arifin.
Hal ini diakui oleh Sari (bukan nama sebenarnya), seorang PSK di Parung. Menurut dia banyak warga yang mendapat pemasukan materi, karena mengontrakan rumahnya bagi wanita penjaja seks tersebut.
Bahkan Sari mengaku mengontrak rumah milik salah satu tokoh di tempat tersebut. Sehingga dia menjamin setiap pelanggan yang menggunakan jasa dia akan aman dari gangguan warga.
“Ya amanlah, yang punya kontrakan orang terpandang di sini. Setiap malam di sini, malam Jumat libur,” kata Sari kepada detikcom Rabu dini hari tadi.
Setiap memberikan jasa, Sari memberikan tarif tertentu. Kepada pelanggan dia menyebut ada tiga jenis biaya yang harus dibayar, yakni untuk minuman ringan sebesar Rp 20 ribu, bir Rp 40 ribu, sewa tempat Rp 50 ribu dan tarif layanan seks sebesar Rp 100 ribu.
“Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” kata wanita berusia 27 tahun ini. Sari meyakinkan bahwa tidak akan ada lagi biaya tambahan atau kenaikan tarif harga.
Sementara itu Ani , wanita penjaja diri lainnya, berdiri di depan sebuah warung kopi, ia mengenakan celana levis panjang dan baju kaos longgar, usianya di atas 30-an tahun. Ani menawarkan tarif yang tidak jauh berbeda dengan Sari.
Menurut Ani, ia tidak bisa pergi atau meninggalkan tempat tersebut untuk memberikan layanan seks, sebab ia memiliki bos atau germo. Meskipun warung atau kontrakannya tidak berada di pinggir jalan, melainkan di dalam gang, ia dan rekan tidak bisa pergi diam – diam. “Tidak bisa pergi, kita di sini ada yang ‘ngawasin’,” kata Ani.
Keberadaan warung remang-remang dengan wanita nakal di Parung, Bogor menurut Arifin harus disikapi karena sudah lama dibiarkan. Salah satunya membentengi masyarakat wilayah sekitar dengan melakukan pendekatan pendidikan, budaya, ekonomi, dan sosial agar tidak ikut terjerumus ke dunia lender itu.
Berawal dari keprihatinan tersebut, membuat terobosan untuk membendung masyarakat agar tak terlibat lebih jauh dalam praktik prostitusi. Selama ini, praktik prostitusi di Parung masih awet karena ada kesempatan yang diberikan masyarakat setempat.
"Kami memang mencari apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan (prostitusi) ini," kata Arifin.
Tarif PSK di Parung Tak Ditentukan, Asal Mau Minum
Bogor - Jampang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lalu lintas masih terlihat ramai dan lancar. Kendaraan melaju di dua sisi jalan, baik yang menuju arah Bogor maupun Jakarta.
Di pinggir sebuah jalan yang merupakan perbatasan kecamatan Kemang dengan Jampang, lima orang perempuan berdandan menor berdiri sambil melambaikan tangan ke pengendara. Tiga dari mereka berdiri di sebelah sebuah warung bubur kacang hijau, sementara dua lainnya berdiri di seberang jalan.
Menjelang tengah malam, jumlah wanita di kawasan tersebut bertambah banyak. Jumlahnya mencapai dua puluhan. Mereka berdiri di pinggir jalan sepanjang jalur Kemang-Jampang hingga Hotel Transit Parung.
Saat jalanan sedang sepi dari pengendara, beberapa kelompok dari wanita tersebut memanfaatkan lapak pedagang yang kosong dan tanpa penerang, warung–warung kopi sebagai tempat berkumpul.
Mereka akan kembali ke pinggir jalan jika terlihat lampu kendaraan yang melaju dari kejauhan. Dandanan para wanita ini tidak terlalu mencolok untuk ukuran pekerja seks komersial (PSK).
Rias wajah atau Make up mereka tidak menor meski olesan bedak tetap terlihat. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Sebagian mengenakan celana pendek, tidak sedikit juga yang mengenakan celana jeans panjang, dengan pakaian atas hanya memakai kaos atau dibalut dengan jaket.
Pemandangan ini terasa kontras jika dibandingkan dengan PSK di pinggir Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di jalan Hayam Wuruk, para PSK merias diri dan mengenakan pakaian seksi.
Di Parung, Bogor memang terkenal banyak warung remang-remang. Namun, warung-warung tersebut letaknya tidak berada di pinggir jalan, melainkan di dalam gang perkampungan. Hanya beberapa PSK yang mejeng di pinggir jalan untuk menarik pelanggan agar mampir ke warung.
Transaksi antara PSK dan pelanggan pun terjadi di warung. Namun para wanita tersebut tak langsung bersedia diajak ke penginapan atau tempat kencan lainnya. Mereka mengajak calon pelanggan untuk mampir ke warung atau rumah kontrakan terlebih dahulu, sambil bersantai menikmati berbagai jenis minuman seperti bir.
Soal besarnya tarif layanan seks, ternyata tak ada patokan tertentu. Yang terpenting bagi wanita tersebut si calon pelanggan bersedia mampir minum di warung mereka. Seperti Yuni, -bukan nama sebenarnya-,.
Selasa petang kemarin dia berdiri di samping sebuah warung tenda bubur kacang hijau. Mengenakan celana pendek yang dipadu kaus berkerah berwarna putih. Gerakan tubuhnya tidak terlihat lembut layaknya wanita penggoda. Nada bicaranya terdengar datar, ia tidak menentukan besarnya tarif untuk layanan intim asalkan bersedia mampir minum terlebih dahulu ke warung.
“Untuk ‘mainnya’ terserah berapa aja, yang penting minumnya,” kata Yuni.
Berbeda dengan Yuni, Sari dan sejumlah wanita penjaja diri lainnya justru mematok tarif untuk setiap layanan seks yang diberikan. Persamaan mereka adalah tidak bersedia dibawa ke tempat lain saat melakukan hubungan layaknya pasangan suami istri. “Harus di kontrakan,” kata Sari.
Kawasan Parung sejak tahun 1960-an memang dikenal banyak bermunculan warung remang-remang. Praktik prostitusi marak di tempat tersebut. Banyak istilah yang disematkan pada wanita penjaja cinta di Parung. Mulai dari 'kupu-kupu malam', 'wanita nakal', sampai 'Duren Parung'.
Ada Cabe-cabean yang Jadi 'Duren Parung'
Jakarta - Geliat warung remang-remang alias warem di kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat, tetap eksis meski sudah diperangi dan dirazia berkali-kali. Bahkan belakangan fenomena prostitusi berkedok warem diwarnai dengan kehadiran cewek-cewek belia yang belakangan kondang dengan sebutan cabe-cabean.
Institut Inovasi Sosial Indonesia (INSOS) yang menyoroti fenomena warem mencermati banyaknya wanita nakal yang masih muda belia mangkal di pinggir jalan sepanjang Parung-Bogor.
Tak hanya di kalangan anak muda perkotaan, tren cabe-cabean juga muncul di kawasan pinggiran ibu kota. Tak terkecuali Parung. Remaja putri tanggung itu lazimnya keluyuran tengah malam sembari menonton trek-trekan motor.
Kehidupan mereka cenderung bebas, termasuk menyangkut seks. Dari kalangan mereka, sebagian biasanya ada yang terlihat di kelab-kelab malam mencari acara gratisan. Di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor sendiri dipenuhi tempat-tempat hiburan malam dari mulai warung remang-remang, diskotek, kafe hingga bar yang umumnya bermusik dangdut.
Salah satunya, sebut saja Sari, yang biasa nongkrong mencari "mangsa" di pinggir jalan dekat warung tenda bubur kacang hijau. Perempuan belia ini menawarkan jasa layanan seks namun si laki-laki mesti terlebih dulu membeli minuman dan membayar sewa tempat yang sudah ditentukannya.
"Minuman dan sewa tempat itu untuk yang punya kontrakan,” ucap wanita yang mengenakan celana ketat ini.
Sementara itu Direktur Institut Inovasi Sosial Indonesia, Arifin Purwakananta, mengaku merasa sangat prihatin dengan fenomena prostitusi di Parung.
Arifin menjelaskan sejak ia tinggal di dekat daerah Parung pada 2001, keberadaan warem ini memang sudah mencemaskan. Tak sedikit ditemukan perempuan nakal yang masih muda mangkal di pinggir jalan. "Jumlahnya sekarang diperkirakan semakin bertambah," kata Arifin.
Kawasan Parung sejak puluhan tahun silam sudah dikenal dengan warung remang-remangnya. Praktik prostitusi marak di tempat tersebut. Banyak istilah yang disematkan pada wanita penjaja cinta di Parung. Mulai dari 'kupu-kupu malam', 'wanita nakal', sampai 'Duren Parung'. Biasanya yang terlibat praktik prostitusi di daerah ini perempuan yang berumur di atas 25 tahun.
Rahasia Sukses Berbisnis Warung Remang-Remang
panti pijat
,
pelacuran
,
prostitusi
,
seks
,
sex
,
underground
Edit
0 komentar :
Post a Comment