Pelacur dan Tuhan

Pulau Baai, 300-an PSK Menjual Diri di Lokalisasi Ini...

BENGKULU, — Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB, saat kawasan eks lokalisasi Pulau Baai yang terletak di Kelurahan Sumber Jaya, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, mulai ramai dengan "geliatnya".

Pemerintah daerah setempat memang menyebutnya sebagai kawasan "eks lokalisasi", tetapi dalam kenyataannya, tempat itu masih merupakan area pelacuran, dan bahkan tumbuh subur hingga kini.

Masuk ke kawasan ini harus dilakukan dengan perjuangan berat. Pasalnya, pengunjung harus melintasi jalan berlumpur dan berbatu. Sengaja, lintasan menuju lokasi itu tidak pernah diaspal, sehingga siapa pun yang masuk ke kawasan tersebut memang dipastikan ingin "berbelanja" di rumah-rumah bordil yang ada di dalamnya.

Setelah sekira 10 menit perjalanan melintasi jalan yang rusak, sebuah portal penjagaan akan menyambut kedatangan pengunjung. Ada tak kurang dari lima pria berperawakan besar yang berjaga di portal itu. Mereka adalah petugas keamanan, dan pengunjung diharuskan membayar Rp 20.000 untuk tiap kendaraan yang akan masuk.

Berjarak 20 meter dari portal itu, pengunjung akan menemukan pos parkir. Lagi-lagi, mereka harus membayar Rp 10.000 untuk satu kali parkir. "Ini jasa parkir Mas," timpal salah seorang penjaga pos parkir itu sambil mengembuskan asap rokok.

Setelah lepas dari dua pos penjagaan itu, barulah akan terdengar entakan musik serta kerlap-kerlip lampu khas rumah-rumah bordil, yang berjejer layaknya sebuah perkampungan penduduk.

Konon, lokalisasi ini menampung hingga 300 pekerja seks komersial. Di dalam lokalisasi itu, para wanita penjaja seks terlihat duduk bercengkrama atau mengutak-utik gadget di teras rumah. Mereka mengenakan pakaian seksi dan mini. Beberapa dari mereka bahkan tanpa malu terlihat bercumbu mesra dengan para tamu.

"Mas, mampir dong, sini Rani temenin," kata salah seorang PSK mencoba menghentikan motor. Tampilan Rani sangat menggoda, celana pendek katun warna putih dan lingerie merah, menggoda lelaki yang bertamu ke sana.

Beberapa mobil dan motor tampak lalu lalang mencari tempat yang dirasa tepat. Biasanya, saat pelanggan menghentikan mobil atau motornya di depan sebuah rumah, maka dengan cepat sejumlah wanita akan mendekat dan menawarkan "jasa" mereka. Hal itu pula yang terjadi di depan rumah bordil yang bercat hijau tak jauh dari pos parkir.

"Masuk yuk, Mas, sini saya temenin," kata seorang wanita bermuka bulat dengan kulit hitam manis, yang belakangan diketahui bernama Novi. Novi mengaku berusia 24 tahun dan datang dari Ciamis, Jawa Barat.

Nah, saat masuk ke dalam rumah yang memiliki ruang tamu seluas 6x5 meter itu, suasana mengejutkan pun langsung menyambut. Di antara cahaya remang-remang, terdengar dentuman musik disko, lengkap dengan kepulan asap rokok tebal yang memerihkan mata.

Ada empat meja di ruangan itu, tiga meja terisi penuh, tinggal tersisa satu meja. Di meja itulah Novi mengajak duduk bersama. Pada tiga meja yang telah dipakai PSK dan sejumlah tamu, ada berpuluh-puluh botol minuman jenis bir, kacang, rokok, dan permen. Meski remang-remang, mata masih sanggup melihat aktivitas mereka yang sekadar mengobrol, berjoget, atau melakukan kegiatan yang tampak intim.

Kegugupan yang muncul saat duduk berdua dengan Novi agak tertolong ketika dia mengajak rekannya Ana duduk di tempat yang sama. Ana mengaku berusia 23 tahun, datang dari Bandung, Jawa Barat. Dengan rambut sebahu, kulit putih, wajah oval, dan tinggi 150 sentimeter, serta hidung bangir, Ana terlihat seksi. Apalagi dia memakai rok mini berbahan jins dengan kaus tipis berbelahan dada rendah.

Setelah berkenalan, Novi yang sepertinya lebih senior dari Ana menawarkan minuman. "Pesan apa Mas? rokok, bir, atau camilan saja," tegur Novi dengan gaya yang manja.
"Mas, baru pertama kali sepertinya masuk ke sini ya, gak usah gugup nyantai aja, kita semua dari habitat yang sama, manusia," kata Novi tertawa lepas sambil menggeser duduk lebih dekat.

Pemandangan mengejutkan kembali terlihat. Beberapa pasangan di meja seberang yang dari awal terlihat intim tampak bergeser ke belakang ruangan, menggeser tirai berwarna krem yang berada di salah satu dinding. "Oh, mereka itu sedang 'eksekusi' Mas," ungkap Ana seolah menangkap keterkejutan pelanggannya.

Novi lalu menjelaskan, "eksekusi" adalah istilah untuk hubungan seks yang dilakukan antara PSK dan pengunjung, jika keduanya telah sepakat dengan harga yang harus dibayar si pengunjung. "Kalau eksekusi kita gak nentuin tarif, tapi biasanya paling kecil Rp 150.000 satu kali," kata Novi sambil mencubit pinggang pelanggannya.

Pengakuan Dua Pekerja Seks di Lokalisasi Pulau Baai...


BENGKULU — Detik terus berjalan menjadi menit, dan jam. Malam pun semakin larut. Obrolan dengan Ana dan Novi, dua pekerja seks komersial (PSK), di lokalisasi Pulau Baai, Bengkulu, semakin cair dan mengalir.

Kedua gadis asal Jawa Barat ini pun tak sungkan bercerita tentang awal mula terjun menjadi penjaja cinta di kompleks pelacuran yang terletak di Kelurahan Sumber Jaya, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, tersebut.

Alasan klasik. Keduanya berdalih ingin memperbaiki ekonomi keluarga karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Apalagi Novi yang hanya bermodalkan ijazah sekolah dasar.

"Saya sudah memiliki anak perempuan Mas, usia enam tahun dan dua orangtua yang tidak bekerja, kalau saya tidak kerja mereka mau makan apa," kata Novi di tengah ingar bingar suara musik disko di dalam salah satu rumah bordil.

Dalam satu malam, Novi bisa mengumpulkan uang tidak kurang dari Rp 1 juta. Uang tersebut ia tabung dan selebihnya ia kirim secara rutin untuk orangtua dan anaknya di Cimahi.

"Saya kirim uang ke anak dan orangtua sebulannya sekitar Rp 3 juta, dan saya targetkan saya dapat membeli rumah dan dapat modal usaha baru berhenti menjadi lonte," katanya pelan, sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Novi datang ke Bengkulu dan masuk ke lokalisasi tersebut atas informasi dari temannya yang sebelumnya pernah bekerja menjadi PSK di Pulau Baai. "Saya dikabari temen kalau mau jadi lonte ya ke Bengkulu aja, maka saya ikutan sampai dengan sekarang," kata wanita yang mengaku baru empat bulan bekerja di lokalisasi itu.

Novi mengaku belum pernah bekerja menjadi PSK sebelum di Bengkulu. Hanya, buntut dari perceraian membuatnya bingung untuk mencari uang dan akhirnya memilih menjadi PSK di Bengkulu.

Ana pun tak berbeda. Gadis dengan kulit putih mulus ini mengaku hanya memiliki ijazah sekolah menengah umum (SMU). Dia mengaku, pertama menjadi PSK, ketika rumah orangtuanya di Ciamis dijual oleh pamannya. Kedua orangtuanya pun terpaksa tinggal di rumah tetangga.

Sebab itulah, Ana berjanji harus bisa membelikan orangtuanya rumah dengan cara apa pun, termasuk menjadi PSK. "Tapi kepada orangtua saya mengaku kerja di Bengkulu sebagai marketing di sebuah perusahaan mobil, mereka tidak tahu kalau saya jadi lonte," kata Ana.
Meski Jual Diri, Kami Yakin Tuhan Sayang Kami...

BENGKULU,— Malam semakin larut. Udara dingin dan angin kencang di luar rumah bordil yang berdiri berjajar di lokalisasi Pulau Baai, Kota Bengkulu, tertutup dentuman musik keras serta pekatnya asap rokok dari para pekerja seks komersial dan para pengunjung yang datang.

Perbincangan dengan dua penjaja seks dari Jawa Barat yang mengadu nasib di kompleks pelacuran ini pun terus berlanjut.

Sambil bercerita, Ana, PSK berusia 23 tahun asal Bandung, kerap mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya, menghalau pekatnya asap rokok yang mengepul. Rambutnya yang tergerai sebahu pun sering dikibas-kibaskannya, menambah kesan genit dan seksi bagi para pelanggannya.

Sesekali ia mengisap dalam-dalam rokok yang ada di jepitan jarinya. Rok jins mini yang membalut kaki putihnya tak membuatnya kikuk untuk duduk bebas di sofa yang rendah.

Tak jauh berbeda, Novi, gadis 24 tahun dari Ciamis, pun terlihat tak terganggu dengan suasana gaduh di dalam ruang depan rumah bordil berukuran 6x5 meter itu. Ingar bingar dan lalu lalang pelanggan di rumah bordil tak menghalangi keduanya untuk terus bercerita tentang perjalanan hidup.

Setelah mengungkapkan alasan mereka terun ke dunia hitam, Ana dan Novi pun kembali bercerita tentang kehidupan spiritual mereka. Meski menjadi PSK, kedua wanita ini mengaku tetap takut akan dosa. Tapi lagi-lagi, mereka tidak memiliki pilihan lain untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Tuhan sayang kami

"Meski kami menjadi lonte Mas, kami tetap meyakini Tuhan itu sayang sama kami, dia mahatahu dan adil, makanya di sini kami selalu mendirikan shalat wajib, ayah (sebutan untuk mucikari) selalu mewajibkan kami shalat lima waktu. Dia sering mengontrol kadang mengajak kami shalat berjemaah," kata Novi.

Ibu satu anak ini mengaku, kebiasaan shalat lima waktu sudah menjadi bagian penting bagi para PSK di rumah bordil itu. Meski demikian, ada satu shalat yang kerap mereka tinggal, yakni subuh.

"Kami kadang tidak shalat subuh karena sudah mabuk berat atau letih karena melayani tamu hingga empat orang satu malam, jadinya subuh jadi lewat," kata Novi.

Selain wajib shalat, mereka juga diminta oleh sang germo untuk mengaji minimal satu kali dalam satu minggu. Memang, tidak ada hukuman bagi PSK yang tidak melakukannya. Namun, seperti yang dikatakan Ana, ayah sering mengontrol mereka saat jam shalat. "Akhirnya menjadi biasa mendirikan shalat," ujar Ana sambil menenggak minuman yang ada di depannya.

Himawan, mucikari di rumah bordil yang merangkap sebagai Ketua RT 8, Kelurahan Sumber Jaya, pernah berbincang dengan Kompas.com dalam kesempatan lain. Kala itu, Himawan menyatakan, tingginya antusias para PSK mendirikan shalat bisa menjadi indikator bahwa wilayah itu memerlukan masjid.

"Kami telah usul dengan Wali Kota agar di sini didirikan masjid dan disediakan satu imam khusus yang didatangkan dari Kota Bengkulu. Kami telah menyediakan tanah 30x30 meter persegi, juga kami butuh pendidikan anak usia dini (PADU) karena jumlah anak-anak bisa mencapai puluhan orang," kata Himawan.

Novi dan Ana adalah dua dari 300-an pekerja seks yang mencari nafkah di lokalisasi ini. Pemerintah setempat menyebut kawasan ini sebagai wilayah eks-lokalisasi karena memang sempat ditutup beberapa waktu silam. Namun faktanya, geliat bisnis prostitusi di tempat ini terus bergulir deras.

PSK Pulau Baai Biasa "Bekerja" Tanpa Kondom

BENGKULU — Sudah lebih dari dua jam berlalu dari tengah malam. Obrolan dengan Ana dan Novi, dua PSK asal Jawa Barat, di lokalisasi Pulau Baai, Kota Bengkulu, belum lagi berakhir.

Asbak di meja pendek di depan sofa tempat keduanya duduk sudah semakin penuh dengan abu rokok. Sejumlah botol minuman pun menemani mereka di sudut itu. Menjelang pagi, keramaian di rumah bordil itu pun malah kian ramai.

Setelah sempat mencurahkan isi hatinya soal pengalaman spiritual mereka, Ana dan Novi lalu bercerita tentang bagaimana mereka bekerja setiap malam. "Satu malam saya bisa melayani tamu sampai tiga hingga empat orang. Ini perlu tenaga ekstra, kadang sampai sakit pinggul," kata Novi.

Ana pun mengungkapkan hal serupa. Sambil terus mengisap rokok di jarinya, wanita 23 tahun asal Bandung ini justru mengaku senang jika mendapat tamu yang waktu "bercintanya" pendek. "Enak, Mas, tidak capek kita," cetus Ana menimpali Novi.

Tanpa kondom

Menurut mereka, pelanggan yang kerap datang ke lokalisasi itu beragam, mulai dari anak baru gede (ABG), pria paruh baya, hingga kakek berumur 60 tahun. Saat melayani tamu, para PSK di Pulau Baai kebanyakan tidak menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom, baik kondom pria maupun wanita. Alasannya, banyak tamu yang tak nyaman dengan kondom.

Meski demikian, Ana dan Novi mengaku hingga saat ini bebas dari virus HIV/AIDS. Setiap minggu, petugas kesehatan dari pemerintah setempat pun melakukan pemeriksaan berkala terhadap semua PSK di sana.

"Kami diwajibkan periksa kesehatan, darah, hingga bagian sensitif kewanitaan. Jika penyakitnya bisa diobati, maka kami dapat obat. Tapi kalau ada yang terkena HIV/AIDS, maka PSK langsung dipulangkan," ujar Ana.

Saat ditanya apakah Ana dan Novi tidak takut hamil? Keduanya saling berpandangan sambil tersenyum. "Nah, kalau untuk menghindari kehamilan kami punya rahasia khusus, Mas, dan itu hanya kami wanita yang tahu, tidak harus kaum pria mengetahuinya, jadi maaf ya Mas, urusan ini saya tidak akan cerita," ujar Novi tersipu.

Merly Yuanda, Direktur Kipas, salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada penyelamatan korban HIV/AIDS, pernah menyebutkan bahwa lembaganya rutin berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat untuk melakukan kontrol terhadap kesehatan para PSK di lokalisasi tersebut.

"Memang ada beberapa PSK yang ditemukan positif HIV/AIDS dan mereka langsung kita rekomendasikan dengan pengelola setempat untuk dirawat, untuk segera berhenti bekerja sebagai PSK," kata Merly.

Pelacur di Pulau Baai Kehilangan Pelanggan di Musim Hujan

BENGKULU — Perbincangan dengan dua pekerja seks komersial di kawasan eks-lokalisasi Pulau Baai yang terletak di Kelurahan Sumber Jaya, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, mengalir tanpa terasa.

Meja di depan sofa tempat bercengkrama yang awalnya bersih, kini sudah berantakan dengan sisa-sisa minuman, makanan kecil, dan abu rokok. Meski pagi tak lama lagi menjelang, kegaduhan di tempat itu belum menunjukkan tanda-tanda akan surut.

Hanya, menurut Novi, salah satu PSK yang sejak tengah malam bercerita panjang tentang kehidupannya, keramaian seperti saat ini hanya terjadi di musim kemarau, atau setidaknya saat tidak turun hujan.

Siapa menyangka, ternyata faktor curah hujan di lokalisasi itu memengaruhi pendapatan 300-an penjaja seks yang bermukim di sana. Menurut gadis berambut sebahu asal Jawa Barat itu, saat curah hujan tinggi banyak tamu yang tidak mau masuk ke area lokalisasi.

Memang, saat mendatangi tempat ini, jalan berbatu yang rusak akan menyambut para tamu. Dibutuhkan waktu sekira 10 menit dengan motor untuk melintasi ruas jalan tersebut. Konon, kondisi ini memang dibiarkan agar mereka yang datang ke kawasan Pulau Baai "terseleksi" sebagai orang-orang yang memang ingin menghabiskan malam dengan para wanita penghibur di sana.

Akibat jalan yang berlumpur saat hujan turun banyak pelanggan yang enggan datang. Alhasil, para pekerja seks itu pun kehilangan pendapatan. Selain itu, faktor hujan pun memengaruhi penghasilan para pelanggan di sana sehingga mereka pun tak punya uang untuk bersenang-senang.

"Selain kontraktor, mayoritas pelanggan kami adalah nelayan dan pekerja kapal jadi karena musim hujan terus para nelayan tidak melaut jadi mereka tidak punya uang untuk mencari hiburan di sini. Nah, itu membuat pendapatan kami turun sampai 80 persen," kata Ana, seorang PSK lainnya yang juga sejak malam bercerita soal pekerjaannya.

Baik Ana maupun Novi sebelumnya pernah berujar bahwa dalam satu malam mereka bisa menghasilkan uang hingga Rp 1 juta. Uang itu didapat dari empat atau lima lelaki hidung belang yang menggunakan jasa mereka dalam semalam.

Tetapi, kondisi itu tak terjadi saat musim hujan datang. Ana mengaku ingin sekali keluar komplek lokalisasi untuk "refreshing" bila tempatnya bekerja sedang sepi. Namun, mereka terikat aturan ketat. Salah satunya adalah melarang mereka keluar dari lokalisasi demi alasan keamanan.

"Semua kebutuhan telah dipenuhi. Mau baju baru, kami bisa kredit. Mau beli handphone di sini ada yang jual, makan tinggal makan dengan biaya bulanan yang relatif murah sekitar Rp 300 ribu. Jadi tidak ada alasan kami untuk keluar, kerja, kerja, kerja," kelakar Novi, sambil kembali berjoget mengikuti dentuman musik disko dangdut di dalam rumah bordil itu.

Lokalisasi Pulau Baai berdiri kisaran tahun 1989. Pada tahun 2002, Pemerintah Provinsi Bengkulu menutup kawasan tersebut dan memberikan bantuan usaha bagi para PSK beserta uang saku untuk dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.

Bantuan usaha tersebut adalah seperangkat alat jahit. Sayang, terobosan pemerintah kala itu tidak membuahkan hasil. Sebab, ketika dipulangkan secara serentak, para PSK itu justru turun di jalan dan melakukan aktivitas di beberapa tempat dalam Kota Bengkulu. Akibatnya, prostitusi liar terjadi pada saat itu dan membuat masyarakat terganggu.

Kini, saat angin malam berembus kencang, ingar-bingar musik dangdut dari rumah-rumah bordil yang berjajar di kampung itu, kepulan asap rokok dan aroma minuman beralkohol, serta ratusan wanita dengan pakaian serba mini masih akan terus menjadi keseharian di tempat ini...

About Blogger

Jakarta Sex and Mystery Magazine "JakartaBatavia Magz" - Enjoy and Relax here.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :