Menculik Anak Gadis di Desa Sade
“Di sini, kalau pemuda melamar anak gadis secara baik-baik justru keluarga si gadis akan merasa diremehkan,” ucap Pak Seman, salah seorang penduduk Desa Sade Rambitan, di Lombok Tengah. “Terus gimana dong, Pak?” saya jadi makin penasaran.
Pak Seman menjelaskan bahwa sudah tradisi masyarakat Suku Sasak bahwa seorang gadis harus diculik terlebih dahulu sebelum dinikahkan. Jadi di masa kini, apabila seorang pemuda dan gadis sudah saling tertarik, mereka akan merencanakan penculikan. Di malam hari, si pemuda akan menculik si gadis dari rumahnya. Esoknya, ketika keluarga mengetahui anak gadisnya diculik, kemudian akan merencanakan pernikahan mereka berdua. Unik, bukan?
Desa Sade Rambitan adalah satu dari sedikit desa Sasak asli yang masih bertahan. Saat ini masih ada 150 keluarga yang menghuni desa ini. Menurut Pak Seman, desa ini sudah berdiri sejak tahun 1097 dan sudah ditinggali oleh 15 generasi.
Dari jalan raya, terlihat rumah-rumah tradisional suku Sasak yang beratapkan ijuk – terbuat dari jerami yang dikeringkan. Ada juga bangunan beratap melengkung, serupa dengan bentuk gedung Bandara Internasional Lombok. Ternyata, kata Pak Seman, itu adalah bentuk khas Pulau Lombok. Bangunan tambahan tersebut merupakan tempat untuk menyimpan padi yang sudah dipanen. Di bawahnya terdapat bale-bale untuk bercengkerama selain juga menjaga padi agar tidak dicuri.
Penduduk Desa Sade sebagian besar memang bertani padi, namun padi hasil panen tidak untuk dijual, melainkan untuk konsumsi pribadi. Mereka juga beternak kambing, sapi, dan kerbau.
Saya semakin tertarik untuk mendengar sejarah desa ini. Walaupun bersentuhan dengan dunia modern – listrik sudah ada sejak tahun 2001 – kehidupan masyarakat masih tradisional. Para lelaki mengenakan sarung dan perempuan memakai kain.
Untuk menambah penghasilan, mereka menenun kain dan membuat kerajinan tangan yang dijual pada wisatawan yang berkunjung. Kebetulan Sade Rambitan sudah menjadi desa wisata sejak tahun 1980-an.
Proses membuat kain tenun sangat menarik karena dilakukan dari awal sampai akhir secara manual. Pewarnaan kain menggunakan tanaman, tidak ada bahan pewarna kimiawi. Hanya benang emas yang mereka beli.
Seorang nenek terlihat sedang memintal kapas menjadi benang. Di sisi lain, seorang gadis muda berusia awal belasan tahun sedang menenun benang menjadi selendang. Di desa ini, anak gadis berusia 9-10 tahun sudah mulai diajari menenun kain.
Kami tiba di rumah tertua yang ada di desa tersebut. Rumah tradisional suku Sasak terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan bagian dalam adalah tempat untuk tidur anak-anak mereka yang masih gadis, merangkap sebagai dapur. Dapur terdiri dari tungku yang menyatu dengan tanah. Ruangan tersebut tertutup rapat hingga gelap gulita karena sinar matahari tidak dapat masuk. Ternyata itu dimaksudkan agar anak gadis mereka tidak mudah diculik. Dinding-dinding rumah terbuat dari anyaman bambu.
Yang paling unik dari rumah-rumah tradisional di sini adalah lantainya. Sudah umum apabila rumah tradisional berlantaikan tanah. Tapi berapa banyak yang dilapisi oleh kotoran kerbau? Rumah-rumah di Desa Sade ini secara berkala dipel menggunakan kotoran kerbau. Yang dahulu hanya berlantai tanah, karena kotoran kerbau tersebut, kini lantainya keras seperti disemen. Hingga kini, lantai rumah masih dipel dengan kotoran kerbau untuk menjaga agar tetap keras.
Dahulu kita sering mendengar bahwa Suku Sasak menganut agama Islam, namun menjalankan salat wajib 3 kali sehari – disebut Wektu Telu. Agama Islam yang demikian dahulu banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu Bali. Menurut Pak Seman, di Desa Sade saat ini ajaran tersebut sudah tidak dilaksanakan karena masyarakatnya sudah menjalankan shalat wajib lima kali sehari.
Desa Sade Rambitan ini hanya berjarak 5 km dari Bandara Internasional Lombok, hanya sekitar 30 menit dari Mataram. Walaupun pendidikan sudah merambah generasi muda di desa ini dan desa-desa sekitarnya, pernikahan pada usia muda masih sering ditemui. Sangat umum seorang gadis berusia 14-15 tahun dinikahkan.
Indonesia memiliki ratusan desa tradisional seperti Sade ini, yang layak untuk dilestarikan. Saya mengucapkan selamat tinggal pada Pak Seman dan melanjutkan perjalanan untuk melihat pantai-pantai baru di Lombok Selatan yang luar biasa cantik.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment