Berbual Melayu di Telepon Bimbit
“Di Malaysia, rumah sakit bersalin adalah rumah sakit korban lelaki,” ujar sebuah pesan di telepon seluler yang tersebar ke mana-mana. Tentu saja dengan nada ejekan. Dalam pesan itu—yang dimaksudkan jenaka tapi kental dengan semangat rasisme—banyak lagi istilah yang di negeri jiran sesungguhnya tidak pernah terdengar. Biasanya, orang Malaysia akan ganti menjawab, ”Daripada kalian, di Kuala Lumpur, cari jalan sehala.”
Ilustrasi di atas adalah tanda bahwa, dalam pandangan pemakai bahasa Indonesia, bahasa Malaysia/bahasa Melayu, yang memiliki kosakata yang sama, tetap saja terasa lucu dan aneh sekaligus berjarak. Yang jelas, rumah sakit bersalin di Malaysia disebut hospital bersalin. Dan hala dalam jalan sehala yang artinya jalan satu arah tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, dari Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka (2001), yang berarti sama persis dengan arah.
Dalam tulisan Manipulasi Makna, saya pernah menyinggung soal lema bahasa Malaysia seperti budak (anak-anak), butuh (penis), dan seronok (bergembira, meriah), yang artinya, menurut KBBI, sama persis. Mungkin karena bahasa Melayu tersebar di banyak tempat dan pernah menjadi lingua franca, hingga banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Ternyata tidak sedikit kosakata bahasa Melayu yang dalam pikiran orang Indonesia (yang terlalu Jakarta-sentris?) terasa aneh, tapi ternyata salah satu maknanya sama persis dengan apa yang diterapkan Malaysia. Tentu saja ini, seharusnya, tidak begitu mengejutkan, karena dua negara ini serumpun.
Berawal dari percakapan seorang rekan di kampus, “Sudah isi borang?” Saya awalnya terkejut. Bukankah borang yang artinya formulir adalah lema bahasa tetangga? Ternyata saya selidiki di KBBI, artinya sama persis! Tapi berapa banyak dari kita yang memakai istilah borang daripada formulir?
Kata lain yang maknanya serupa: kasut (alas kaki, seperti sepatu dan selop), lawa (menarik hati, indah), dadah (bahan narkotik yang membius), had (batas), bual (mengobrol), mara (tampil ke hadapan, maju), bimbit (jinjing, membawa dengan ujung jari) dalam telepon bimbit (telepon genggam), tadbir (mengurus, mengatur, memerintah, mengelolakan), cuti (libur, vakansi), bila (kapan), jemputan (undangan, ajakan), jimat (hemat), berpusing (keliling), cadangan (rancangan, rencana), bilik (ruangan kecil yang tersekat), naib (wakil, pengganti), dan tandas (jamban, kakus, tempat mandi). Bahkan makanan pengat pun mirip padanan katanya, yaitu “masakan yang tidak berkuah, dari buah dengan santan, ada pula dari ikan”.
Tentu saja ada kata yang artinya berbeda, atau tidak persis sama, atau bahkan tidak ada padanannya. Misalnya membeli-belah (berbelanja), kira-kira uang negara (audit), sukan (olahraga), jom (ayo; dalam bahasa Melayu ada kata “ayuh”, tapi kurang populer), dan comel (berarti imut, cantik, sementara comel dalam bahasa Indonesia adalah “perkataan yang dikeluarkan terus-menerus yang tidak keruan maksudnya”), kat (di, kependekan dari “dekat”), berbeza (berbeda), dan selari (sejalan). Cuma-cuma di Malaysia adalah “percuma”, yang diabadikan dalam lirik lagu anak-anak Kereta Api: “…bolehlah naik dengan percuma”.
Dan tentu ada penyempitan dan perluasan makna, dan mengikuti konteks. Misalnya ada kasus lagu Pejantan Tangguh dari Sheila on 7 diprotes keras di Malaysia. Khusus untuk Malaysia, judul lagu itu diganti dengan Pria Terhebat, karena judul asli lagu tersebut akan berkonotasi negatif–di KBBI, “berjantan” bermakna “bersetubuh (bagi orang perempuan)”, dan “pejantan” berarti “binatang jantan yang menjadi bibit”. Atau refrain Seberapa Pantas yang mengandung kata celakanya yang ternyata di Malaysia dianggap kurang sopan karena dianggap mengumpat. Jalan keluarnya adalah menggantinya dengan oh sayangnya.
Apakah kita terlalu malas membuka kamus dan mengeksplorasi entri yang jarang digunakan?
Atau kita terlalu berpikir Jakarta-sentris sehingga lupa bahwa Melayu berikut bahasanya adalah juga bagian dari Indonesia? Atau memang ini semacam sindrom sibling-rivalry dua negara serumpun?
Kasus terakhir: tentu banyak dari kita yang menonton, atau membaca, Laskar Pelangi, dan mungkin masih ingat ketika Pak Harfan berkisah tentang umat Nabi Nuh yang musnah dilamun ombak? Atau saat anak-anak Laskar Pelangi bertualang ke Pulau Lanun yang angker tempat Tuk Bayan Tul? “Dilamun” adalah digenangi atau diliputi, sedangkan “lanun” adalah bajak laut, dan keduanya adalah kosakata bahasa Melayu. Apakah ini berarti, jika kita mengejek-ejek bahasa negeri tetangga itu, tanpa sadar kita juga mengolok-olok warisan budaya kita sendiri: Melayu?
Daripada pusing, lebih baik pusing-pusing ke medan selera. Jom!
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment