Predator Online Berkeliaran, Kenali Modusnya Agar Tak Jadi Korban
Jakarta, Pertemanan di jejaring internet kerap berujung pada penipuan. Semakin tragis bila korbannya adalah anak-anak, yang kemudian mengalami eksploitasi seksual. Pelakunya biasanya seorang paedofil, sering disebut predator online.
Ada pola tertentu yang digunakan oleh para predator untuk mendekati korban, merayunya, hingga kemudian menjebaknya. Umumnya mereka berpura-pura menjadi teman curhat, dokter, psikolog, atau apapun yang dianggap ramah dan aman bagi anak-anak.
Setelah korban percaya dan merasa akrab, si predator akan melancarkan aksinya. Mulai dari memancing-mancing dengan percakapan cabul, hingga terang-terangan meminta foto-foto vulgar. Selanjutnya, bukan tidak mungkin mengajak korban bertemu langsung.
Berawal dari Chatting, Lama-lama Dirayu Lalu Disuruh Buka Baju
Jakarta, Mengenalkan internet pada anak memang perlu agar mereka tidak gaptek (gagap teknologi). Tapi awas, ada risiko yang harus diwaspadai. Predator online berkeliaran di dunia maya, termasuk para paedofil yang siap memangsa si kecil.
Predator online merupakan julukan bagi orang-orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual pada anak-anak yang sedang senang-senangnya 'eksis' di internet. Macam-macam bentuk kekerasan yang dilakukan, mulai dari rayuan cabul, bertukar foto vulgar, bahkan hingga berlanjut dengan perkosaan saat melakukan kopi-darat.
Ada pola tertentu yang dipakai para predator saat mendekati mangsanya. Umumnya, mereka menggunakan identitas yang dianggap tidak berbahaya oleh anak-anak, misalnya sebagai dokter, psikolog, atau apapun yang membuat anak-anak merasa nyaman dan mau berteman dengannya.
"Mereka pura-pura jadi dokter, jadi guru, bahkan kemarin ada yg pura-pura buka kursus bimbingan belajar. Dia buka iklan punya bimbingan belajar. Anak-anak SMP gitu pada datang, nggak tahunya kan paedofil juga," ujar pegiat Internet Sehat, Donny BU.
Setelah berteman, para predator akan memanfaatkan keluguan dan kepolosan anak-anak untuk mengambil hatinya. Informasi detail tentang hobi, keluarga, teman-teman dekat, alamat, dikumpulkan lalu dipakai untuk memberi kesan bahwa sang predator sangat perhatian pada calon korbannya.
Mengutip FBI (Federal Bureau of Investigation), Donny menyebut tahap ini sebagai proses 'grooming' atau membangun kepercayaan. Prosesnya bisa berlangsung selama mingguan, atau bahkan hingga berbulan-bulan tergantung seberapa mudah calon korban diambil hatinya.
"Jika sudah terjadi hubungan emosional saling percaya antara predator dengan targetnya, maka mulailah dilaksanakan aksi untuk membawa topik esek-esek, meminta target untuk mengirimkan foto dirinya dalam pose vulgar hingga mengajak untuk bertemu," tulis Donny dalam blog pribadinya.
Sebagian dari para predator merupakan pedofil yang artinya hanya memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak, dan sebagian lagi masih bisa terangsang oleh sesama orang dewasa. Apapun itu, dua-duanya tetap menjadi ancaman serius bagi anak-anak.
Sering Pasang Status Galau, ABG Labil Rentan Dimangsa Paedofil
Jakarta, Status-status galau mudah sekali ditemukan di jejaring sosial, terutama pada akun-akun milik para ABG (Anak Baru Gede). Hati-hati, para pakar mengingatkan bahwa kebiasaan mengumbar informasi pribadi bisa mengundang pelecehan seks.
"Jangan terlalu percaya pada orang. Komunikasi secukupnya, jangan banyak pasang status galau. Itu memancing predator yang sering berkedok sebagai teman curhat," pesan Fauzan Heru Santoso, psikolog sosial dari Universitas Gadjah Mada tentang kebiasaan pasang status galau para ABG.
Selain status galau, beragam informasi yang sifatnya sangat personal kerap diumbar para ABG yang kurang menyadari risikonya. Misalnya alamat rumahnya, hobinya, musik kesukaan dan bahkan nomor telepon. Bagi para predator, tentu sangat memudahkan untuk stalking atau melacak target.
"Secara emosional (ABG) memang belum stabil, apa yang dilakukan belum dipikir matang-matang. Tetap butuh pemantauan meski sudah cukup umur," kata Ratih Zulhaqqi, MSi, psikolog anak dan remaja dari Klinik Kancil.
Pegiat Internet Sehat, Donny BU membuktikan sendiri betapa mudahnya para predator mengumpulkan informasi tentang anak-anak yang menjadi targetnya. Dalam eksperimen yang dilakukannya, Donny berhasil mengidentifikasi profil seorang anak perempuan secara detail.
"Dia kelas 6 SD di Bogor, ayahnya polisi. Nama ibunya siapa, hobinya apa, sekolahnya di mana, saya bisa tahu. Kalau saya punya niat jahat kan tinggal PDKT (pendekatan) saja. 'Eh kamu dipanggil bapak', atau 'eh saya ketemu si ini kemarin'. Karena saya sudah tahu nama teman-temannya siapa, nongkrong di mana. Gampang kan kalau mau nyulik," papar Donny.
Soal kebiasaan pada ABG memasang foto narsis juga menjadi perhatian pada ahli. Tidak ada batasan pasti seperti apa foto yang dianggap merangsang, tetapi sebaiknya memang tidak sembarangan saat mempublikasikannya di jejaring sosial.
"Soal foto, hak masing-masing anak mau pasang foto apa. Tapi untuk mengurangi risiko, sebaiknya jangan pajang foto yang merangsang orang," saran seorang pengamat social media, Nukman Luthfie.
Berkedok Teman Curhat, Predator Online Incar Anak Pemalu
Jakarta, Keluguan dan kepolosan anak-anak membuat mereka rentan menjadi korban eksploitasi seksual di dunia maya. Para predator atau pemangsa pun tidak sembarangan memilih korban. Anak yang lugu dan pemalu umumnya lebih diincar.
Ratih Zulhaqqi, MSi, seorang psikolog anak dan remaja dari Klinik Kancil menilai bahwa keluguan anak adalah sasaran para predator online. Tipe anak yang mudah diserang adalah mereka yang tidak terlalu aware atau menyadari ada kejahatan di sekelilingnya.
"Biasanya tipe-tipe yang bisa di-bully, rasa percaya dirinya rendah, lalu mencari pertemanan di media sosial," kata Ratih.
Meski belum pernah menangani secara langsung korban predator online, Ratih melihat kecenderungan tersebut dari berbagai pemberitaan tentang kekerasan seksual pada anak yang berawal dari interaksi di jejaring internet. Biasanya korbannya adalah tipe anak-anak yang lebih banyak mengalah, banyak diam, dan tidak bisa mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya.
Komunikasi yang buruk dengan orang tua, menurut Ratih juga bisa membuat anak-anak rentan menjadi korban predator online. Biasanya, anak-anak tersebut kurang didengarkan atau diperhatikan oleh orang tuanya. Wajar jika kemudian mudah dibujuk para predator.
Soal komunikasi dengan orang tua, pegiat Internet Sehat Donny BU punya pendapat berbeda. Donny yang sedang menangani kasus predator online mengatakan, komunikasi dengan orang tua secara umum terkadang tidak ada masalah. Namun pada titik tertentu, komunikasinya terputus.
"Jadi sebenarnya komunikasi antara orangtua dan anak baik-baik saja. Curhat, ngobrol semacamnya. Tapi begitu ngomongin internet atau teknologi, orang tua nggak ngerti. Akhirnya kan si anak mikir, ngapain nanya sama orangtua padahal gue lebih ngerti," ujar Donny.
Dengan memanfaatkan kondisi tersebut, para predator akan semakin mudah mendekati korbannya. Ia akan berlaku sebagai seorang teman curhat, melakukan proses grooming atau menumbuhkan kepercayaan, dan ujung-ujungnya melakukan eksploitasi seksual.
38% Kekerasan Seks pada Anak Berawal dari Pertemanan Online
Jakarta, Sebagian orang menganggap interaksi di dunia maya sangat aman karena tidak bertemu secara fisik. Namun siapa sangka, para predator dan paedofil online bisa menggiring anak-anak yang lugu untuk dijadikan korban eksploitasi seksual.
Laporan akhir tahun 2013 yang dikeluarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, sepanjang tahun tersebut terjadi 3.039 kasus pelanggaran hak anak di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 58 persen atau sebanyak 1.626 kasus merupakan kekerasan seksual.
"Nah, dari 1.626 kasus kekerasan seksual pada anak tersebut, 38 persen didahului dengan interaksi di social media," kata Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak.
Arist membenarkan bahwa kekerasan seksual di jejaring internet tidak selalu dilakukan oleh paedofil, yang memang secara khusus memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak. Sebagian masih tertarik dengan orang dewasa, hanya saja pada waktu itu bertemu dengan mangsa yang kebetulan anak-anak.
Modusnya sama seperti predator online pada umumnya, yakni dengan terlebih dahulu mengambil hati para korban. Begitu halusnya para predator mendekati korban, tanpa disadari muncul kedekatan secara emosional dan bahkan seksual di antara keduanya.
"Karena melibatkan bujuk rayu, kami menyebutnya asmara online," kata Arist soal modus yang dipakai para predator online dalam menjerat mangsanya.
Salah satu faktor yang mendorong banyaknya predator online berkeliaran, menurut Arist adalah budaya penggunaan internet, khususnya jejaring sosial, yang cukup tinggi di Indonesia. Pada tahun 2013 lalu misalnya, jumlah pengguna aktif Facebook di Indonesia mencapai 6 juta atau masuk 5 besar di seluruh dunia.
Klub Pedofil Indonesia
investigasi
,
keluarga
,
modus operandi
,
reportase
,
seks
,
sex
,
telisik
,
telusur
Edit
0 komentar :
Post a Comment