Rahasia Arisan Sosialita

Arisan Bugils hingga Istri Simpanan Warnai Pergaulan Sosialita

Mengintip Arisan Sosialita

Jakarta - Cekikikan hingga suara tawa yang keras terdengar dari sekelompok perempuan cantik di sebuah kafe mewah di bilangan Jakarta Selatan. Dandanan serba wah disertai wangi parfum mahal dan aksesoris branded serba impor melekat di tubuh para sosialita itu.

Para wanita "kinclong" yang ditaksir berusia di atas 35 itu tengah seru-serunya bergosip sembari menggelar arisan.

Siapa tak kenal arisan. Pada dasarnya arisan sudah lama ada dan bukanlah hal yang baru di telinga masyarakat Indonesia. Awalnya tujuan arisan untuk menjalin silaturahmi antarkeluarga besar namun kini berkembang seiring dengan perubahan zaman. Jadilah arisan yang menjadi ajang bergosip dan sarana pengakuan sosial.

Arisan masa kini bukan lagi sebatas arisan ibu-ibu kompleks. Di kalangan sosialita ibu kota, ada demam arisan heboh. “Asal muasalnya arisan itu buat silaturahmi, tapi arisan yang erat kaitannya dengan pergaulan, aku rasa memang baru booming pada empat tahun belakangan ini,” kata presenter Nadia Mulya.

Dalam perbincangan santai di Coffee Bean, akhir pekan lalu, penulis buku Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites ini mengungkapkan seluk beluk arisan sosialita di Jakarta.

Nadia menuturkan semakin lama arisan di kalangan wanita kaum “The Have” semakin spektakuler. Ia tak menampik, arisan yang mengedepankan lifestyle akan jadi berbahaya bila berlebihan.

Tak jarang kalangan social climber atau yang ingin melompat ke strata sosial atas kewalahan sebab tak mampu mengikuti gaya di geng arisannya.

Misalnya, Nadia menyebut orang yang masuk geng arisan hanya karena dibilang arisannya seru banyak artis dan sosialitanya. "Ternyata pas masuk levelnya terlalu tajir, tiap hari gonta ganti tas atau yang mereka ngajak arisannya ke Singapura atau ke mana. Kalau kita enggak kuat secara finansial, akan tekor juga kan,” ujarnya.

Nadia sendiri mengaku masih aktif dalam delapan kelompok arisan. Empat di antaranya adalah arisan yang disebutnya untuk pergaulan dengan para sosialita, antara lain Peace And Love, arisan Kocok, arisan Taat, dan arisan Ibu Gila alias Bugils.

Arisan pergaulan itu dia lakoni untuk bersenang-senang dengan teman wanitanya. Umumnya lengkap dengan kostum seragam dan make up yang harus tampil maksimal. Tapi dalam arisan bugils ia justru melakukan hal yang sebaliknya yakni jadi ajang tampil santai tanpa berdandan.

Jika arisan Bugils lebih dilatarbelakangi pertemanan, Nadia mengamati ada arisan lainnya yang terbentuk karena banyak motivasi lainnya. Di antaranya yaitu reuni, silaturahmi, berdagang, kesamaan lokasi, kesamaan minat, hingga alasan profesi dan memperluas jaringan.

Kesamaan profesi atau kebutuhan untuk memperluas jaringan membuat munculnya arisan kelompok istri-istri pejabat atau pun istri duta besar.

Nadia menjelaskan ia pernah menanyakan ke sosiolog bahwa satu ciri khasnya arisan yakni mereka akan berusaha mencari orang-orang yang sejenis. Dalam arti kalau ada arisan istri pejabat yang boleh ikut hanya pejabat. "Kalau arisan para istri simpanan ya buat sendiri, jadi kalau ngumpul sudah setipe orangnya,” kata Nadia membeberkan.

Sosialita, antara Tas Ratusan Juta hingga Barang Tiruan

Jakarta - Sigmund Freud, bapak psikoanalisis pernah mengungkapkan sebuah teori; jika individu berkumpul membentuk massa, mereka akan meninggalkan pola pikir masing-masing dan beralih ke pikiran kolektif. Di era modern, teori yang dikemukakan Freud tersebut terjadi juga di arisan kalangan sosialita.

Arisan adalah salah satu contoh pikiran kolektif dalam bentuk sederhana, sehingga anggotanya mudah digiring untuk menerima atau menolak suatu ide. Nadia Mulya, penulis buku 'Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites' menyebut ada beberapa sisi negatif arisan sosialita.

Salah satunya, seorang sosialita yang tidak memiliki karakter dan pemahaman finansial keluarganya, bisa terseret dalam gaya hidup hedonisme. Menurut Nadia, banyak kalangan sosialita juga memanfaatkan arisan untuk menjual sejumlah barang bermerek. Seperti tas bermerek, perhiasan, baju, gelang, dan jam Rolex.

Penawaran itu ditambah dengan iming-iming diskon atau cicilan. Jika tidak kuat menolak, maka banyak yang jadi tercebur dan ikut-ikutan dalam gaya hidup tersebut.

“Yang menyedihkan, pada saat mereka berkumpul dengan si orang-orang kaya dan merasa ‘oh gua juga kaya’. Padahal pas dia pulang ke rumah, ternyata enggak kaya gitu, suaminya juga enggak mendukung. Sementara dia sudah tercebur dan merasa senang karena bisa bergaul dengan istri para konglomerat atau wanita simpanan misalnya,” kata Nadia kepada detikcom, Jumat (10/1) akhir pekan lalu.

Wal hasil, tak jarang arisan para sosialita banyak yang cenderung menjadi kegiatan hura-hura. Tujuan sosial arisan pun berganti jadi ajang untuk pamer kekayaan dan tampil heboh demi bisa masuk liputan media. Mereka berlomba tampil bagus dan maksimal sesuai dress code yang tak biasa.

Untuk ini, para ibu-ibu arisan tak sungkan merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli gaya hidup, mulai dari perawatan kecantikan seperti operasi plastik, perawatan salon yang berjam-jam, menyewa, belanja baju, tas, sepatu, hingga menyewa make up artist khusus dan fotografer professional.

Tas Birkin dan Kelly keluaran Hermes misalnya. Kalangan urban melihat tas sebagai indikator strata sosial. Maka makin mahal dan bergengsi tas yang disandang, statusnya akan kian meningkat.

Demi mendapat pengakuan itu pula, kata Nadia, tak jarang banyak orang yang memaksakan diri. Bahkan, ada juga yang membeli barang tiruan demi bisa tetap tampil eksis menenteng tas harga ratusan juta itu.

“Banyak yang terbuai sama tas itu. Kalau kita berkumpul dengan orang yang ngomongin uang Rp 1 juta ibaratnya Rp 1000 perak. Misalnya, ‘gila, gua barusan habis dari sale, ada baju muraaaaah banget, dari Rp 14 juta jadi 7 juta,” papar Nadia.

Psikolog Universitas Indonesia, Ratih Andjayani Ibrahim mengatakan modifikasi arisan yang cenderung jadi kegiatan hura-hura belum tentu jadi gaya hidup yang cetek.

“Mesti dicermati lebih lanjut, kreativitasnya bagaimana, sebab jika sekadar seru-seruan, tentu tidak. tapi jika makin lama makin jor-joran, dan mengacu pada gaya hidup hedonisme belaka, bisa dikatakan itu mengarah ke gaya hidup cetek,” kata Ratih seperti dikutip dari buku Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites itu.

Di Kalangan Sosialita, Merek Tas Menentukan Strata Sosial

Jakarta - Di kalangan sosialita, tak jarang arisan banyak menonjolkan sisi lifestyle. Pamer tas, dan aksesori bermerek sudah menjadi hal yang lumrah. Bagi mereka tingkatan strata sosial ditentukan oleh tas atau sepatu yang dikenakan.

Semakin mahal dan terkenal merek sepatu, tas atau aksesori yang dikenakan, maka strata sosial seorang sosialita kian tinggi. Begitu juga sebaliknya.

“Mereka (sosialita) terpacu untuk ngumpul dengan teman-teman ceweknya dan berdandan dengan baju yang pakai dress code–dress code,” kata artis dan presenter Nadia Mulya kepada detikcom, Jumat (10/1) pekan lalu di Jakarta.

Selain aksesori yang dikenakan, para sosialita juga sangat memperhitungkan lokasi arisan. Pada 10 atau 15 tahun lalu, arisan dilakukan di rumah atau restoran. Namun kini tempat favorit adalah tempat yang ramai dibicarakan orang, tak peduli meski harus didatangi dengan menumpang pesawat terbang.

Menurut Nadia, lokasi paling sering disambangi untuk arisan adalah di restoran, cafe dan pusat perbelanjaan. “Semakin happening dan sulit di-book suatu tempat, nafsu memajang foto di profile picture BB pun makin tinggi,” kata penulis buku, Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites itu.

Dalam takaran yang pas, Nadia mengaku merasakan adanya efek positif setelah ikut arisan. Arisan bisa menjadi mood booster. Alasannya ada euphoria ketika berkumpul dengan teman-teman wanita, menjadi pusat perhatian orang ketika berfoto, atau senang saat diapresiasi make up dan postur tubuhnya.

“Tak hanya baik bagi pelaku tapi para suami juga senang selama tidak mengganggu urusan rumah tangga. ‘istri saya pulang dari arisan itu lebih sumringah dan dia juga lebih termotivasi untuk dandan'. Jadi dalam takaran yang pas ya oke banget,” kata Nadia yang sempat mengikuti beberapa arisan sosialita itu.

Hanya memang, arisan yang mengedepankan lifestyle akan jadi berbahaya bila berlebihan. Tak jarang kalangan social climber atau yang ingin melompat ke strata sosial atas kewalahan, sebab tak mampu mengikuti gaya di geng arisannya.

“Misalnya kita masuk geng arisan hanya karena dibilang arisannya seru banyak artis dan sosialitanya. Ternyata pas kita masuk levelnya terlalu tajir, tiap hari gonta ganti tas atau yang mereka ngajak arisannya ke Singapura atau ke mana. Jika kita enggak kuat secara finansial, akan tekor juga kan,” kata Nadia.

Psikolog Universitas Indonesia, Ratih Andjayani Ibrahim mengatakan arisan tak pernah kehilangan pijarnya karena untuk kebanyakan orang kegiatan ini menyenangkan. Modifikasi arisan yang cenderung jadi kegiatan hura-hura pun dianggapnya belum tentu jadi gaya hidup yang cetek.

“Mesti dicermati lebih lanjut, kreativitasnya bagaimana, sebab jika sekadar seru-seruan, tentu tidak. tapi jika makin lama makin jor-joran, dan mengacu pada gaya hidup hedonisme belaka, bisa dikatakan itu mengarah ke gaya hidup cetek,” kata Ratih seperti dikutip dari buku Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites itu.

Lewat Arisan, Para Sosialita Pamer Kekayaan

Jakarta - Desember lalu mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawansa menyindir arisan istri pejabat yang nilainya sangat fantastis. Dia menyebut ada istri pejabat yang ikut arisan tas sampai Rp 25 juta per bulan. Tak hanya istri pejabat, demam arisan juga menyerang para sosialita di Jakarta.

Pada dasarnya arisan sudah lama ada, dan bukan hal yang baru di telinga masyarakat Indonesia. Awalnya tujuan arisan untuk menjalin silaturahmi antarkeluarga besar. Namun kini berkembang seiring dengan perubahan zaman.

Arisan telah menjelma menjadi ajang pamer kekayaan, bertukar gosip, sekaligus sarana mendapat pengakuan sosial. Arisan masa kini bukan lagi sebatas arisan ibu-ibu kompleks. Di kalangan sosialita Ibu Kota, ada fenomena demam arisan.

“Asal muasalnya arisan itu buat silaturahmi, tapi arisan yang erat kaitannya dengan pergaulan, aku rasa memang baru booming pada 4 tahun belakangan ini,” kata artis yang juga presenter Nadia Mulya kepada detikcom Jumat (10/1) pekan lalu di Jakarta.

Pesohor yang juga penulis buku Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites ini mengatakan, budaya arisan makin lama kian spekatakuler. Arisan tak lagi digelar di rumah untuk tujuan sosial, tapi restoran yang sedang naik daun atau tempat-tempat populer.

Lokasi adalah elemen penting dalam arisan. Pada 10 atau 15 tahun lalu, arisan biasa dilakukan di rumah atau restoran. Namun kini lokasi favorit adalah tempat yang tengah ramai diperbincangkan, tak peduli bila harus didatangi dengan menumpang pesawat.

Motivasinya pun berganti menjadi ajang show off alias pamer kekayaan ataupun untuk eksis lewat foto-foto heboh. Demi pengakuan itu, penampilan pun harus maksimal, tidak boleh biasa-biasa saja.

Sensasi diciptakan dengan tema busana heboh ketika arisan, mulai dari gaya Lady Gaga, gaya Sex and The City, tema Barbie, seragam India atau ala sailormoon. Peserta arisan pun akan berlomba datang dengan berlomba berpenampilan spektakuler lengkap dengan make up maksimal, perhiasan gemerlap hingga barang fashion bermerek.

Bergesernya makna arisan di kalangan sosialita ini antara lain dipicu oleh perkembangan teknologi. Seperti Blackberry, iPhone, dan sejumlah gadget yang mendukung aplikasi media sosial. “Aplikasi foto dan sosial media itu juga mendorong orang pengen eksis di arisan,” kata Nadia.

Menjamurnya sejumlah restoran sekaligus tempat nongkrong kian mendorong para sosialitas kian eksis. Tak jarang mereka pamer foto dengan latar belakang restoran tersebut.

About Blogger

Jakarta Sex and Mystery Magazine "JakartaBatavia Magz" - Enjoy and Relax here.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :