Rahasia Terlarang Jatuh Terbobok Setiap Saat

Berkenalan dengan Narkolepsi, Pemicu Tidur Seenak Udel

Jakarta, Mungkin tak banyak orang yang pernah mendengar tentang apa itu narkolepsi. Padahal mungkin narkolepsi terjadi pada orang-orang terdekat, tetangga, atau bahkan diri Anda sendiri.

Narkolepsi merupakan sebuah gangguan saraf yang mengakibatkan seseorang merasa ngantuk secara berlebihan di siang hari. Malamnya, mereka malah sulit tidur.

"Narkolepsi ini pada prinsipnya terganggunya sirkuit-sirkuit pengendali tidur yang ada di otak. Jadi ada yang harusnya menjaga otak tetap bangun, ada yang memicu kita jadi ngantuk, tapi ini mengalami gangguan," jelas dr Roslan Yusni Al Imam Hasan SpBS dari Mayapada Hospital.

Perlu dipahami bahwa siklus tidur terdiri atas 5 tahapan. Pertama, tahap tidur ringan yang masih berupa transisi antara kondisi bangun dan tertidur.

Pada tahap kedua, pergerakan bola mata terhenti, suhu tubuh menurun, serta detak jantung mulai melambat. Biasanya kondisi berlangsung selama 20 menit. Kemudian masuk ke tahapan tiga dan empat, di mana beberapa otot sama sekali sudah tidak beraktivitas seperti mata.

Barulah kemudian masuk kepada tahapan non-REM (tahap 1-4), lalu kembali ke tahap 2 dan 3 sebelum akhirnya masuk ke tahap tidur dalam atau rapid eye movement (REM).

"Tapi penyandang narkolepsi itu langsung masuk ke rapid eye movement lho," tegas dr Roslan atau lebih akrab disapa dr Ryu dalam perbincangan.

Dan inilah yang menjadi keunikan sekaligus ciri khas dari narkolepsi, yaitu pasien bisa mendadak tertidur dimana saja dan kapan saja, tanpa bisa dicegah dan juga diantisipasi. Lantas bagaimana menanggulanginya?

Mana yang Paling Sering Sebabkan Narkolepsi: Genetik atau Lingkungan?

Jakarta, Pendapat berbeda dikemukakan para pakar tentang penyebab narkolepsi. Di satu sisi, narkolepsi dikatakan sebagai kondisi genetik atau turunan, tetapi ada juga yang menuding narkolepsi dipengaruhi kondisi biologis pengidapnya.

Secara biologis, pada pasien narkolepsi memang terjadi penurunan kadar zat penting dalam otak, yang disebut hipokretin.

"Zat kimia di otak ini tugasnya mengatur pola tidur dan siklus tidur. Kalau otak kekurangan zat ini, akibatnya membuat orang tidur di sembarang tempat," ungkap dr Andreas Prasadja, RPSGT dari RS Mitra Kemayoran.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bila narkolepsi juga diakibatkan oleh faktor internal lain seperti imunitas atau kekebalan tubuh maupun faktor eksternal semisal masalah lingkungan.

Hal berbeda dikemukakan dr Rimawati Tedjasukmana, SpS, RPSGT dari RS Medistra Jakarta. Dari penelitian yang dibacanya pernah ada dugaan jika narkolepsi terjadi karena gangguan daya tahan.

"Di China dicurigai karena vaksin influenza yang diberikan kepada anak-anak yang menyebabkan mereka mengalami narkolepsi," paparnya.

Dari penelusuran, kasus serupa rupanya juga ditemukan di Inggris, di mana sebagian anak mengalami narkolepsi setelah mendapat suntikan vaksin flu babi yang sempat dijadikan imunisasi wajib bagi anak-anak di sana.

Namun menurut dr Roslan Yusni Al Imam Hasan SpBS dari Mayapada Hospital, keduanya tidaklah berkaitan. "Kalau misalkan dari 100 yang disuntik kemudian 90 orang mengalami narkolepsi ini baru masalah. Kalau dari satu juta tapi yang kena cuma 1 ya nggak bisa dihubungkan," jelasnya.

dr Roslan atau lebih akrab disapa dr Ryu ini lebih sepakat bila narkolepsi cenderung didasarkan pada kondisi genetik. "Hanya pemicunya memang bermacam-macam. Bisa pola hidup, makanan, keracunan, infeksi, jatuh atau benturan, atau stroke," urainya saat ditemui secara terpisah.

Tak Bisa Sembuh, Pasien Narkolepsi Bergantung pada Obat Pengendali Gejala

Jakarta, dr Rimawati Tedjasukmana, SpS, RPSGT dari RS Medistra menegaskan narkolepsi tidak dapat disembuhkan. Pertama, karena penyebab kelainan ini sendiri dirasa belum jelas.

Namun diakui dr Rima, sebagian gejala yang diperlihatkan penyandang narkolepsi seringkali merugikan diri mereka, terutama rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan katapleksi. Beruntung keduanya dapat dikendalikan dengan obat-obatan.

"Dengan perawatan dan pengaturan pola tidur, serta mengkonsumi obat, pasien masih bisa hidup normal," katanya saat dihubungi.

Obat-obatan apa saja yang dimaksud? Dikutip dari situs WebMD, secara umum obat yang dipakai untuk mengontrol rasa kantuk pada penyandang narkolepsi berupa amphetamine yang berfungsi sebagai stimulan. Sedangkan untuk mengurangi gejala katapleksi, halusinasi dan kelumpuhan tidurnya, pasien diberi obat antidepresan.

Ada juga obat lain yang diketahui dapat membantu mengatasi katapleksi atau lemah otot pada pasien narkolepsi. Namanya, Xyrem, dan obat ini diklaim dapat meningkatkan kualitas tidur si pasien, sehingga ketika terjaga, pasien tak terlalu mudah mengantuk.

Meski demikian, dr Roslan Yusni Al Imam Hasan SpBS dari Mayapada Hospital merasa pengobatan baru bisa diberikan jika memang pasien terganggu dengan kondisinya. "Kalau nggak sampai mengganggu apanya yang mau diobati," timpalnya.

Ditekankan dr Roslan atau lebih akrab disapa dr Ryu, sebelum diobati pun, pasien harus menjalani pemeriksaan secara menyeluruh, mulai dari fisik, riwayat medis hingga pemeriksaan faktor internal seperti hormonal dan neurotransmitter otak.

Metode pengobatan lain yang direkomendasikan untuk penyandang narkolepsi adalah terapi perilaku. Misalnya membuat jadwal tidur singkat berdurasi 10-15 menit selama beberapa kali dalam sehari untuk melawan rasa kantuk yang berlebihan; bisa juga dengan membuat jadwal tidur rutin.

Di situs lain dikatakan bagi sebagian pakar, konseling juga sangat dibutuhkan oleh penyandang narkolepsi mengingat kondisi mereka tidak dikenal secara luas, sehingga memicu perasaan terkucilkan, hingga depresi. Kadang di antara mereka ada yang sampai takut tidur.

Pasien Narkolepsi Masih Bisa Hidup Nyaman dengan Trik Seperti Ini

Jakarta, Apa jadinya bila seseorang tak dapat beraktivitas dengan baik karena sering ngantukan, bahkan tertidur di tengah berkegiatan? Hidupnya mungkin tak bisa berjalan normal.

Akan tetapi dr Rimawati Tedjasukmana, SpS, RPSGT dari RS Medistra memastikan narkolepsi bukanlah kondisi yang mematikan. "Cuma menurunkan kinerja," tandasnya.

Dengan kata lain, penyandang narkolepsi masih bisa hidup seperti orang-orang tanpa narkolepsi lainnya. Lagipula, gejala kantuk yang dialami penyandang narkolepsi masih dapat dialihkan pada kegiatan lain.

"Bisa saja dengan kesibukannya. Maka dari itu para penyandang narkolepsi disarankan untuk tidak bekerja monoton," lanjutnya.

Namun opini berbeda diungkapkan ahli bedah saraf dari Mayapada Hospital, dr Roslan Yusni Al Imam Hasan SpBS. "Ngantuk ngantuk aja dia, dan langsung dalam keadaan tidur dalam (REM/Rapid Eye Movement)," timpalnya dalam perbincangan terpisah.

Lantas apa yang harus dilakukan penyandang narkolepsi agar bisa hidup nyaman? Pakar kesehatan tidur, dr Andreas Prasadja RPSGT dari RS Mitra Kemayoran meminta agar mereka yang mencurigai dirinya terkena narkolepsi untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

"Jangan anggap sepele kebutuhan tidur. Kalau perlu dicatat juga pola tidurnya, apakah udah sesuai atau belum selama dua minggu," sarannya.

Dari jurnal tersebut nantinya akan ketahuan apakah rerata tidur seseorang sudah mencapai 7-9 jam dalam sehari atau belum. Kemudian bisa dicek sendiri apakah yang bersangkutan masih merasakan kantuk berlebih atau tidak, meskipun jam tidurnya sudah terpenuhi. Jurnal ini pulalah yang bisa menjadi petunjuk dokter ketika pemeriksaan di laboratorium tidur dirasa perlu.

Bila memang pasien terdiagnosis dengan narkolepsi, dokter akan meresepkan obat-obatan. Sebagian pakar juga akan merekomendasikan untuk perubahan gaya hidup seperti memperbaiki pola tidur, olahraga, dan hanya mengonsumsi makanan sehat.

Akan tetapi dr Roslan atau lebih akrab disapa dr Ryu, mengatakan upaya semacam ini jarang membantu mengurangi gejala narkolepsi. "Mungkin kalau ringan iya, tapi jarang saya temui," tuturnya.

Yang paling penting adalah si pasien diberitahu bahwa dirinya menyandang narkolepsi. Jangan sampai mereka melakukan aktivitas seperti berkendara atau berenang seorang diri, karena ini dapat membahayakan keselamatannya.

"Orang-orang di sekitarnya juga perlu tahu kalau dia ini narkolepsi, jadi jangan dimarah-marahin kalau ngantukan," tutupnya.

Narkolepsi atau 'Tukang Tidur'? Begini Bedanya

Jakarta, Narkolepsi rupanya bukan sekadar gangguan tidur biasa, sebab kondisi ini juga memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda.

"Pada skala ringan, biasanya ya sering dinilai pemalas atau tukang tidur itu," ungkap dr Roslan Yusni Al Imam Hasan, SpBS dari Mayapada Hospital saat berbincang.

Sedangkan pada taraf yang lebih berat, pasien narkolepsi sering tahu-tahu tertidur di tengah beraktivitas, bahkan sulit dibangunkan dan mendengkur lalu tiba-tiba bangun lagi.

"Orang dia langsung jatuh ke REM (tahapan tidur paling dalam). Paling nggak 10-15 menit bangun dia. Tapi karena habis masuk REM, habis itu dia seger lagi. Trus sebentar, ngantuk lagi," urainya.

Namun secara umum, ngantuk yang dialami pasien narkolepsi tidak kenal waktu dan tempat. "Bisa terjadi kapan aja dan dimana aja, nggak ada kondisi-kondisi tertentu," timpal dr Rimawati Tedjasukmana, SpS, RPSGT dari RS Medistra saat dihubungi secara terpisah.

Selain durasi, intensitasnya juga tidak jelas. Yang pasti menurut dr Rima, kantuk ini bisa kambuh berkali-kali dalam sehari.

Lantas bagaimana cara membedakan pasien narkolepsi dengan mereka yang gampang ngantuk akibat kurang darah atau diabetes? Menurut dr Andreas Prasadja RPSGT dari RS Mitra Kemayoran, cara membedakannya bisa dilihat dari gejala klasik yang dimiliki narkolepsi, yaitu rasa kantuk yang berlebihan, katapleksi dan kelumpuhan saat tidur.

"Untuk lebih lanjut, periksakan di laboratorium tidur untuk memastikannya," katanya.

Di laboratorium itulah pasien bisa dicek sejauh mana kondisinya, misal sudah berapa lama pasien memperlihatkan tanda-tanda ngantukan atau mudah tertidur saat berkegiatan.

"Kalau cuma hitungan hari kan mungkin capek atau lelah. Tapi kalau sudah dalam hitungan bulan, itu kemungkinan besar narkolepsi," imbuh dr Roslan yang lebih akrab disapa dr Ryu.

Seorang dokter juga baru dapat mengatakan pasien mengalami narkolepsi setelah mengesampingkan gejala yang mengarah pada gangguan kesehatan lain, semisal diabetes atau anemia.

"Misal ada pasien yang gulanya tinggi, kemudian ginjalnya juga sudah fungsinya menurun, ngantuk ya wajar. Tapi kalau yang lain-lain sudah ndak ada, perlu dicurigai itu narkolepsi," saran dr Ryu.

Dokter: Siapapun Bisa Terkena Serangan Tidur Mendadak Ala Narkolepsi

Jakarta, Dalam literatur medis, narkolepsi tidak dikatakan sebagai kondisi langka, hanya saja jarang terdeteksi dan terdiagnosis. Itu berarti siapapun bisa saja mengalaminya.

Secara spesifik, dr Andreas Prasadja, RPSGT dari RS Mitra Kemayoran menyebut narkolepsi lebih banyak dialami perempuan.

"Katakan dari 10 orang, dua di antaranya adalah laki-laki, sisanya perempuan," tandasnya.

Hal berbeda diungkapkan dr Roslan Yusni Al Imam Hasan SpBS dari Mayapada Hospital. Menurutnya, karena dasar dari kondisi ini adalah faktor genetik atau turunan, maka setiap orang berpotensi mengalaminya.

"Kalaupun bakat, bisa saja tidak mengalami, tinggal apes atau ndaknya," imbuhnya.

Tetapi untuk memastikan apakah seseorang berisiko terkena narkolepsi atau tidak, ini bisa dicek dari tiga gejala narkolepsi yang terlihat pada mereka.

"Kalau memang dia mengalami ngantuk yang berlebihan, apakah ada katapleksi, atau apakah tiap kali dia tertidur akan mengalami sleep paralysis atau tidak, itu bisa jadi penentu risikonya," papar dr Roslan.

Jika itu dirasa belum memuaskan, dr Andreas menyarankan agar pasien melakukan pengecekan di laboratorium tidur. Dikutip dari situs WebMD, terdapat dua jenis tes yang umumnya digunakan di laboratorium tidur untuk memastikan diagnosis narkolepsi.

Tes yang dimaksud adalah polysomnogram (PSG) dan multiple sleep latency test (MSLT). Meski hanya dilaksanakan dalam semalam, PSG dapat digunakan untuk memantau tidaknya abnormalitas pada pola tidur seseorang.

Sedangkan MSLT digelar di pagi atau siang hari untuk mengukur tendensi seseorang ketika tertidur, serta menentukan apakah terdapat elemen-elemen di dalam tahapan tidur dalam (REM/Rapid Eye Movement) yang muncul di saat seseorang sedang dalam keadaan terjaga.

Dalam kesempatan yang sama, dr Andreas juga menambahkan, gejala narkolepsi rata-rata baru muncul saat pasien memasuki usia remaja, yaitu berkisar 15 tahun.

Namun kondisi ini dipastikan berlangsung seumur hidup. Termasuk bila si pasien diharuskan mengonsumsi obat untuk mengendalikan gejalanya, maka ini juga kemungkinan akan dilakukan untuk seumur hidupnya.

Perhatikan, Narkolepsi Hanya Bisa Ketahuan dari Gejala-gejala Ini

Jakarta, Meskipun sama-sama tergolong ke dalam gangguan tidur, nampaknya narkolepsi masih kalah populer dengan insomnia. Lantas bagaimana memastikan seseorang terkena narkolepsi?

Untuk menentukan risiko maupun memastikan apakah seseorang terkena narkolepsi ataupun tidak, hal ini dapat dilihat dari gejala klasik yang dimilikinya.

Pakar kesehatan tidur, dr Andreas Prasadja, RPSGT dari RS Mitra Kemayoran menjelaskan, narkolepsi mempunyai empat gejala klasik.

"Hipersomnia atau kantuk yang berlebihan, kemudian katapleksi atau melemasnya kondisi otot tubuh secara berlebihan, halusinasi hipnogogik dan kelumpuhan tidur," paparnya.

dr Andreas menjelaskan, kelumpuhan tidur atau dalam istilah medisnya disebut sebagai sleep paralysis terjadi akibat tumpang tindihnya gelombang otak saat terjaga dan bermimpi.

"Saat mimpi, tubuh dilumpuhkan biar tak gerak-gerak ikuti skenario mimpi. Kondisinya setengah sadar setengah mimpi. Kadang muncul halusinasi hadirnya sosok lain di dekat kita. Orang Indonesia biasa sebut itu ketindihan," terangnya.

Sedangkan katapleksi atau lemasnya otot tubuh muncul karena luapan emosi yang berlebihan, seperti menangis berlebihan, ketawa berlebihan atau sedih berlebihan. Emosi berlebihan ini memicu otot menjadi kelelahan.

Di sisi lain, dr Roslan Yusni Al Imam Hasan SpBS dari Mayapada Hospital menambahkan berkurangnya zat hipokretin dalam otak juga berdampak pada hilangnya tonus atau kontraksi otot.

"Saat otak kehilangan dayanya untuk mengatur tonus otot, maka otot-otot ini bisa menyusut, lalu terjadilah narkolepsi," jelasnya dalam perbincangan.

Bila dikombinasikan dengan serangan kantuk yang tiba-tiba, ketiganya dipastikan dapat membahayakan pasien narkolepsi, misal saat berkendara, yang kemudian dapat berujung pada kecelakaan.

Terlepas dari itu, dr Andreas memberi catatan bahwa tidak semua pasien narkolepsi mengalami kelumpuhan saat tidur, karena orang normal pun juga bisa merasakannya.

"Biasanya juga dikarenakan kurang tidur yang parah. Jadi bisa dikatakan ketindihan itu berasal dari diri Anda sendiri," terangnya.

Jangan Diremehkan, Ini Dampaknya Jika Narkolepsi Tidak Tertangani


Jakarta, Rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan badan lemas sepanjang hari tentu dirasa tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Jalannya aktivitas otomatis menjadi terhambat.

Seperti dikutip dari Mayo Clinic, narkolepsi secara garis besar dapat mengakibatkan sejumlah komplikasi, di antaranya:

1. Kesalahpahaman di masyarakat
Secara individual, seorang penyandang narkolepsi akan dinilai sebagai sosok yang pemalas dan sering terlihat lesu. Apalagi bila yang bersangkutan sudah bekerja.

dr Rimawati Tedjasukmana, SpS, RPSGT dari RS Medistra menegaskan, "Performance menjadi menurun pastinya." Hal ini berlaku baik di dunia kerja ataupun di bangku sekolah, mengingat umumnya gejala narkolepsi mulai muncul pada usia remaja.

2. Mengurangi keintiman dengan pasangan
Rasa kantuk yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan gairah seks, hingga impotensi. Tak jarang penyandang narkolepsi tertidur saat sedang berhubungan seksual.

Di sisi lain, emosi yang berlebihan justru memicu gejala narkolepsi yang lain, yaitu katapleksi atau pelemahan otot. Akibatnya, orang-orang semacam ini kemudian cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, bahkan lama-kelamaan bisa berujung pada gangguan psikososial.

3. Membahayakan diri
Bila sudah akut, serangan kantuk yang tidak kenal waktu dan tempat dapat membahayakan fisik penyandang narkolepsi.

Dikatakan dr Roslan Yusni Al Imam Hasan, SpBS dari Mayapada Hospital, narkolepsi sejatinya tidak memberikan dampak yang berarti bagi penyandangnya.

"Kecuali kalau sampai pada tahapan mengganggu, misal naik motor trus ngantuk dan jatuh, itu kan bahaya. Makanya harus didampingi," jelasnya dalam perbincangan dengan detikHealth.

4. Obesitas
Penyandang narkolepsi rata-rata juga mengalami obesitas. Penambahan berat badan ini bisa dikaitkan dengan efek samping obat-obatan yang harus dikonsumsi si pasien, meningkatnya gaya hidup sedenter, perilaku rakus makan yang muncul karena kurang tidur, berkurangnya zat hipokretin pengatur siklus tidur di otak, atau bahkan kombinasi antara faktor-faktor ini.

Kurang Dikenal, Pasien Narkolepsi di Indonesia Tidak 'Terjamah'


Jakarta, Jangankan tahu, Anda mungkin kali ini mendengar namanya. Namun narkolepsi sebetulnya dekat dengan keseharian manusia, hanya saja tidak disadari sama sekali.

Diutarakan oleh dr Roslan Yusni Al Imam Hasan, SpBS dari Mayapada Hospital, orang-orang yang kerap tertidur saat menunggu antrean di rumah sakit atau ketika mendengarkan dosen menerangkan bisa jadi terserang narkolepsi.

Hanya saja orang-orang seperti ini tidak dianggap serius kondisinya, dan luput dari perhatian. "Di Indonesia susah untuk menentukan angka pastinya," kata dr Roslan atau lebih akrab disapa dr Ryu dalam perbincangan.

Hal senada rupanya juga dikemukakan Russell Rosenberg, direktur eksekutif Atlanta School of Sleep Medicine, AS. Di masyarakat Barat, narkolepsi ternyata juga kerap disepelekan.

Oleh karena itu ketika produser serial televisi The Simpsons menayangkan episode di mana salah satu karakter, yaitu Homer Simpson didiagnosis dengan narkolepsi, ia mengaku gembira.

"Saya sangat berharap cerita tentang Homer dapat membuat masyarakat lebih memerhatikan narkolepsi. Homer sudah menunjukkan pada kita semua, tertidur atau mengantuk di tengah-tengah aktivitas memang sering tak dianggap berbahaya, tetapi ternyata memiliki akibat fatal," ungkap Rosenberg, seperti dikutip dari CNN, beberapa waktu lalu.

Kendati begitu, dr Rimawati Tedjasukmana, SpS, RPSGT dari RS Medistra mengaku sempat menemui beberapa pasien narkolepsi di tempat praktiknya.

"Memang tidak banyak, biasanya wanita sih," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Karena jumlahnya yang sedikit, dr Rima belum dapat memetakan apa kendala yang dihadapi pasien narkolepsi di Indonesia selain ketidakpahaman pada kondisi yang mereka alami sendiri.

"Untuk diagnosis seperti pretest sudah diakomodir BPJS. Cuma yang lain seperti obat ada yang sudah tetapi belum menyeluruh sepertinya," lanjutnya.

Diakui dr Ryu, selain tanggapan masyarakat yang cenderung biasa-biasa saja pada kondisi ini, pasien sendiri juga sering merasa itu lumrah atau hanya sebagian kecil dari kebiasaan hariannya. "Padahal kalau sudah berat, pasien harus diberitahu ngantuknya ini bisa terjadi kapan saja, dan mereka harus didampingi, ndak boleh nyetir sendiri, atau renang," tegasnya.

About Blogger

Jakarta Sex and Mystery Magazine "JakartaBatavia Magz" - Enjoy and Relax here.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :