Adakah Putri Duyung?
KETIKA melintasi perairan Karibia
menuju Rio del Oro pada 1493, Christopher Columbus menulis dalam
jurnalnya: “…tampak tiga putri duyung yang muncul cukup tinggi di atas
permukaan air. Namun mereka tak secantik dalam lukisan, walau mereka
memiliki rupa manusia…,” seperti dikutip dari The Diary of Christopher
Columbus, 9 Januari 1493. Catatan harian Columbus juga mencatat bahwa
Sang Admiral melihat putri duyung ketika melintasi Semenanjung Manequeta
di Guinea.
Seperti para penjelajah dari belahan Eropa pada masa
jauh sebelumya, Columbus meyakini “keberadaan” putri duyung. Mitos
perempuan dengan ekor ikan menyebar dari bangsa Yunani ke dalam budaya
dan agama di Eropa.
Sebelum putri duyung berawal, bangsa Yunani
terlebih dulu mengenal siren –anak-anak perempuan Dewa Sungai Achelous
yang kemudian berubah menjadi perempuan dengan sayap burung bersuara
merdu. Berbagai versi mitos menjelaskan asal-usul mereka –namun kurang
lebih semuanya menyimpulkan bahwa siren, dengan nyanyian cinta dan
kata-kata manis, membujuk para pelaut mengubah haluan dan datang ke
pulau mereka untuk kemudian dimangsa.
Dalam epos Odyssey
(sekitar 800 SM), penulis dan filsuf Yunani Homer menuliskan pengalaman
Odysseus (atau Ulysess dalam bahasa Latin), yang meminta awak kapalnya
menutup telinga mereka dengan lilin untuk menghindari nyanyian siren.
Dia sendiri memutuskan melawan siren dengan meminta awak kapal mengikat
tubuhnya kuat-kuat di salah satu tiang kapal. Para siren yang mendekati
kapal Odysseus akhirnya berguguran dan musnah dengan kepala membentur
badan kapal.
Selain siren, bangsa Yunani mengenal naiades atau
lelembut berwujud perempuan (nymph) yang hidup di air –Laut Mediterania,
samudra, sungai, danau hingga sumur. Naiades dianggap memiliki kekuatan
menyembuhkan dan kesuburan sehingga menjadi objek penyembahan. Serupa
siren, predikat naiades sebagai penggoda para dewa dan manusia juga
terbentuk.
Kepercayaan terhadap siren dan naiades dianggap
sebagai salah satu faktor munculnya putri duyung. Di berbagai wilayah
Eropa hingga abad pertengahan kian banyak orang melaporkan melihat putri
duyung, yang konon gemar menyisir rambut panjangnya sambil berkaca di
cermin ketika duduk di atas batu karang. Gereja-gereja pada abad
pertengahan menanggapi kegemaran tahayul masyarakat terhadap putri
duyung sebagai isu moral.
Beatrice Phillpots dalam Mermaid (1980)
menyebutkan bahwa beberapa otoritas gereja masa itu mengaitkan putri
duyung dengan siren. Putri duyung adalah makhluk abadi yang kerap
menarik pelaut ke dasar laut untuk diambil jiwanya dan binasa. “Untuk
menjaga kesetiaan terhadap gereja, mereka mengajarkan kemolekan putri
duyung sebagai daya tarik duniawi yang menghalangi manusia mendapatkan
keselamatan,” tulis Phillpots. Berbagai ukiran maupun lukisan putri
duyung yang menghiasi gereja-gereja pada masa itu, menurut Phillpots,
berperan menyebarkan pesan moral tersebut.
Penglihatan akan putri
duyung, terutama oleh para pelaut, di kemudian hari disimpulkan para
peneliti sebagai sosok dugong dan manatee yang memiliki kelenjar susu di
bawah sirip dada dan ekor menyerupai ikan. Dugong dan manatee pun
dikelompokkan dalam Ordo Sirenian, yang namanya diambil sesuai anggapan
umum.
“Mungkin para pelaut yang sekian lama menahan hasrat
biologisnya, dari kejauhan di tengah laut memandang dugong dan manatee
serta keliru menganggap mereka sebagai perempuan. Sirenian kerap
dianggap sebagai penyebab munculnya legenda putri duyung,” tulis ilmuwan
Richard Dawkins dalam The Greatest Show on Earth: The Evidence for
Evolution (2009). Yang dilihat oleh Columbus di perairan Karibia kini
diyakini banyak ilmuwan adalah manatee, sementara di wilayah Guinea
adalah dugong.
Sirenian adalah mamalia laut yang memiliki
beberapa persamaan sekaligus perbedaan dengan lumba-lumba dan paus.
Seperti lumba-lumba dan paus, Sirenian hanya mampu hidup di dalam air
dan dapat bertahan dalam air hingga 15 menit. Untuk menghirup oksigen,
ia akan muncul ke permukaan air serta bernafas melalui hidungnya. Namun
berbeda dari lainnya, Sirenian adalah satu-satunya mamalia laut yang
herbivora; pemakan rumput laut dan alga. Ia juga tak mampu bertahan lama
di suhu air yang dingin. Karakteristik ini menurut ilmuwan paleontologi
sekaligus menunjukkan bahwa Sirenian memiliki kedekatan dengan gajah
dan hyrax (sejenis hewan pengerat) ketimbang lumba-lumba dan paus.
Keberadaan
awal Sirenian ditemukan pada periode Eocene di sekitar wilayah Eropa,
Afrika, dan Hindia Barat. Riset ilmuwan Daryl P Domning pada 2008
mengidentifikasi fosil Sirenian tertua di Jamaika berkaki empat dengan
sistem pernafasan yang memungkinkannya hidup di air dan darat. Melalui
tahapan evolusi, Sirenian pun mengalami perubahan fungsi fisik sehingga
berkarakteristik mamalia laut seperti sekarang.
Saat ini, hanya
tersisa empat spesies Sirenian. Dugong (Dugong dugon) tersebar di
perairan dangkal di wilayah Samudra Hindia dan Pasifik, serta
satu-satunya anggota dari keluarga Dugongidae. Tiga lainnya adalah
manatee Hindia Barat (Trichechus manatus), manatee Afrika Barat
(Trichechus senegalensis), dan manatee Amazon (Trichechus inunguis) dari
keluarga Trichechidae. Kata dugong itu sendiri, khususnya di wilayah
Asia Tenggara, diyakini berasal dari bahasa Melayu duyong.
Populasi
dugong dan manatee kini terancam punah akibat perburuan, konsumsi, dan
polusi, serta berkurangnya area padang lamun yang menjadi sumber makanan
mereka. Sementara ia memiliki tingkat reproduksi rendah. Kehadiran
dugong dan manatee menjaga keseimbangan rantai produksi dan konsumsi
vegetasi laut dan keseluruhan ekosistem habitatnya.
Kekhawatiran
akan risiko kepunahan dugong dan manatee bukan tanpa bukti. Salah satu
anggota keluarga Dugongidae, yaitu sapi laut Steller (Hydrodamalis
gigas), telah punah akibat perburuan terus-menerus. Sapi laut
diidentifikasi oleh George Steller, seorang naturalis Jerman, ketika
terdampar di Pulau Bering bersama awak kapal St Peter akibat gangguan
cuaca dan kerusakan kapal sekembali dari jalur pelayaran Amerika
Utara-Rusia pada November 1741.
Awak kapal St Peter mulai berburu
sapi laut pada Juni 1742, dua bulan sebelum mereka kembali ke Rusia.
Kabar mengenai daging sapi laut pun kemudian menyebar. Para pemburu
berang-berang laut khusus mendatangi Pulau Bering untuk stok daging sapi
laut dalam pelayaran mereka. Seorang ilmuwan penerus penelitian
Steller, Leonhard Stejneger, mengumpulkan catatan konsumsi sapi laut
kapal-kapal pemburu. Dalam publikasinya How the Great Northern Sea-Cow
(Rhytina) Became Exterminated (1887), Stejneger menyimpulkan dari
perkiraan 1.500 sapi laut berdasarkan catatan Steller, sapi laut
terakhir di Pulau Bering terlihat pada 1768. Hanya 27 tahun sejak
ditemukan, ia pun punah.
Legenda putri duyung hingga sekarang
masih hidup dalam berbagai bentuk budaya pop. Cerita mengenai si putri
duyung cilik oleh penulis Denmark Hans Christian Andersen, Den Lille
Havrue, pada 1836 pun masih digemari. Walau demikian, cerita asli putri
duyung cilik jauh dari kisah akhir bahagia selama-lamanya seperti versi
dongeng masa kini.
Dikisahkan Andersen, putri duyung cilik
menukar suara dan ekornya kepada penyihir laut demi mendapatkan sepasang
kaki. Ia ingin berada di darat untuk mendapatkan cinta seorang manusia
yang juga seorang pangeran, yang pernah ia tolong ketika kapalnya karam.
Namun cintanya tak berbalas, sang pangeran memilih seorang putri
bersuara merdu sebagai istrinya. Tanpa cinta sang pangeran, putri duyung
cilik ditakdirkan untuk binasa. Keluarganya meminta penyihir laut
memberi keringanan. Satu-satunya cara agar ia bisa kembali ke wujud awal
adalah dengan membunuh sang pangeran. Namun putri duyung cilik memilih
menceburkan diri ke laut dan menjadi busa-busa ombak. Jiwanya yang
kosong namun rela berkorban akhirnya berubah menjadi roh di udara, yang
menghibur anak-anak manis dan menangisi anak-anak nakal.
Bagaimana kelak akhir cerita dugong dan manatee?
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment