Kisah Sultan: Saat Bertemu Nyi Kidul pada Bulan Purnama
Yogyakarta - Banyak kisah mistis dari mendiang Sultan Hamengku Buwono IX. Ia menyatakan pernah bertemu satu kali dengan Ratu Kidul. Kisah itu diungkap Sultan kepada tim penyusun buku Tahta untuk Rakyat. "Percaya atau tidak itu terserah masing-masing, tapi begitulah adanya," ujar Sultan, yang dituturkan kembali oleh Atmakusumah Astraatmadja, penyunting buku.
Pertemuan antara raja dan ratu itu terjadi di Parangkusumo. Hamengku Buwono IX, dalam Tahta untuk Rakyat, mengatakan, "Pada bulan purnama, Eyang Ratu Rara Kidul tampak sangat cantik."
Konon "perkawinan" antara raja Jawa dan Ratu Laut Kidul adalah bentuk imbal jasa dari kemenangan Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, atas Arya Penangsang. Aryo Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto, raja terakhir Kesultanan Demak.
Alkisah, setelah mengalahkan Arya Penangsang, Panembahan Senopati mendapatkan Alas Mentalok, hutan di tenggara Yogyakarta (sekarang daerah Banguntapan). Tapi hutan lebat itu dihuni banyak makhluk halus. Untuk mengusir mereka, ia pun meminta bantuan Nyai Roro Kidul, yang bersinggasana di laut selatan.
Mujarab. Para penunggu itu akhirnya dapat diusir. Imbalannya, pendiri Kerajaan Mataram Islam itu berjanji melabuhkan serangkaian sesaji ke laut selatan sebagai balasan untuk sang Ratu. Pakaian wanita Jawa lengkap, pakaian lama Sultan, belasan kain mori berbeda jenis, potongan rambut dan kuku raja, kembang setaman, kemenyan, minyak wangi, daun sirih, serta aneka buah-buahan dan jajanan pasar dilarung setiap tahun.
Sejak itu mitos ini terus-menerus dinarasikan hingga lambat-laun melekat pada setiap sosok raja yang bertakhta. Tak terkecuali Sultan HB IX.
Banyak kalangan meyakini berbagai hal mistis dan misterius pernah terjadi pada Hamengku Buwono IX. Meski demikian, Sultan memang tak banyak bicara tentang pengalaman batin yang dialami.
Kisah Sultan: Saksi Lihat Dia Masuk Laut Pakai Mobil
Yogyakarta - Banyak kalangan meyakini berbagai hal mistis dan misterius pernah terjadi pada Sultan Hamengku Buwono IX. Meski demikian, Sultan memang tak banyak bicara tentang pengalaman batin yang dialami. Tapi orang lain menyaksikan banyak kejadian di luar nalar yang berkaitan dengan Dorodjatun-nama kecil Sultan.
Misalnya satu kejadian gaib lain di Parangkusumo. Setidaknya lebih dari tiga orang warga desa dekat Parangkusumo menjadi saksi. Suatu saat mereka melihat Raja Yogya itu mengendarai mobil merah tanpa kap di pantai. Setelah mengitari bibir pantai beberapa kali, Sultan mengarahkan mobilnya ke laut dan, blush...,Sultan masuk laut selatan. Anehnya, mereka kemudian tak melihat Sultan muncul lagi ke daratan
Setelah Hamengku Buwono IX mangkat pun banyak orang yang mengatakan melihat penampakan Sultan di Parangkusumo. Tak sedikit warga yang melihat sosok mirip Ngarso Dalem sedang mengendarai mobil dan melakukan hal yang sama: masuk ke laut selatan.
"Sewaktu saya kecil, Bapak dan orang-orang tua sering memperbincangkan soal itu. Sekarang sudah ndak ada lagi yang lihat," ujar Ali, 39 tahun, Komandan Search and Rescue Pantai Parangtritis, kepada Tempo.
Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, pini sepuh sekaligus Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, menganggap kejadian di luar nalar mengenai Hamengku Buwono IX bukan sebagai suatu hal yang aneh. Kemistisan para raja Jawa, menurut dia, memang kental karena tradisi turun-temurun.
"Rakyat Yogya menganggap Sultan Hamengku Buwono IX manusia linuwih, banyak kelebihannya," kata Romo Tirun-panggilan karib Jatiningrat. "Selama menjadi raja, Sinuwun juga mampu memadukan yang irasional dan rasional."
Kisah Sultan: Kisah Keris dan Bisikan Gaib Soal Belanda
Yogyakarta - Raja Jawa kerap kali dikaitkan dengan hal-hal gaib. Tak terkecuali Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang sudah mengenyam pendidikan a la Belanda sejak umur empat tahun.
Bendara Raden Mas Dorodjatun, nama kecil HB IX, pertama kali mengalami hal gaib saat masih menjadi putra mahkota. Saat itu ayahnya, Hamengku Buwono VIII, baru saja mangkat, sementara perundingan dengan Gubernur Lucien Adam yang sudah berlangsung selama empat bulan berjalan alot. Perundingan maraton itu membuat fisik dan mentalnya terkuras.
Dalam kondisi seperti itulah, pada suatu senja akhir Februari 1940, Dorodjatun yang sedang berbaring menerima bisikan aneh, yang diyakininya sebagai suara ayahnya. "Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene." (Nak, tanda tangani saja, Belanda akan segera pergi dari bumi sini.) Malam harinya, ia pun mendatangi Adam dan menyatakan menerima perundingan yang diajukan Belanda.
Tak lama setelah itu, pada 18 Maret 1940, pengangkatan Dorodjatun sebagai Sultan Hamengku Buwono IX dilakukan. Ia menerima Kiai Ageng Kopek. Keris pusaka utama Keraton berbentuk (dhapur) jalak sangu tumpeng bersarung kayu cendana ini hanya berhak dipakai oleh Sultan Hamengku Buwono.
Sebelumnya ia menerima keris Kiai Jaka Piturun saat diangkat sebagai putra mahkota. Keris dengan dhapur jalak dinding ini bersarung kayu timoho. Menurut Romo Tirun, pini sepuh sekaligus Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, tak sembarang putra raja dapat menerima keris tersebut. Penerima yang dianggap tak tepat akan mati tak lama setelah menerima keris.
Salah satu contohnya adalah saat pengangkatan putera mahkota penerus takhta Hamengku Buwono VII. Pengangkatan harus diulang empat kali karena tiga putra mahkota meninggal tanpa penyebab yang jelas. Sedangkan Dorodjatun tetap hidup sampai sampai diangkat menjadi raja dan mangkat saat berumur 76 tahun.
"Wallahualam apa penyebabnya. Hanya Tuhan yang tahu," kata Romo Tirun.
Kisah Sultan: Bertemu Roro Kidul di Parangkusumo?
Yogyakarta - Malam sebelum upacara labuhan ageng digelar, Sultan Hamengku Buwono IX bersama Mbah Maridjan-kuncen Gunung Merapi-mendatangi Raden Panewu Surakso Tarwono yang sedang bersemadi di Cepuri. Upacara labuh sesaji yang didakan delapan tahun sekali ini kerap dikaitkan dengan pemberian saji untuk Nyai Rara Kidul, "penguasa" pantai selatan.
Konon, petilasan di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, yang menghadap persis ke laut selatan ini menjadi tempat bersua para raja Jawa dengan Nyai Roro Kidul. Pada malam bulan Oktober medio 1980-an itu, Sultan datang ke Cepuri mengenakan baju kebesaran raja lengkap dengan panunggul alias mahkota. Artinya, kedatangannya lebih dari sekadar menemui si juru kunci Parangkusumo.
Sultan ingin "membangunkan" Surakso dari semadinya sekaligus memastikan satu hal: labuhan mendapat restu dari Ratu Kidul."Ngarso Dalem hanya datang sebentar dan pergi setelah memberi dawuh," ujar Ali Sutanto, anak Surakso, menirukan ucapan mendiang bapaknya.
Tak ada yang tahu ke mana tujuan Sultan setelah itu. "Menghilang begitu saja." Yang jelas, Surakso langsung menyiapkan penyambutan arak-arakan sesaji yang akan dibawa dari Keraton Yogyakarta ke Cepuri sebelum dilarung ke laut selatan.
Bagi raja-raja Jawa, labuhan bukan sembarang upacara. Ritual itu berakar jauh pada kepercayaan tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Alkisah, setelah mengalahkan Arya Penangsang, Panembahan Senopati mendapatkan Alas Mentalok, hutan di tenggara Yogyakarta (sekarang daerah Banguntapan). Tapi hutan lebat itu dihuni banyak makhluk halus. Untuk mengusir mereka, ia pun meminta bantuan Nyai Roro Kidul, yang bersinggasana di laut selatan.
Mujarab. Para penunggu itu akhirnya dapat diusir. Imbalannya, pendiri Kerajaan Mataram Islam itu berjanji melabuhkan serangkaian sesaji ke laut selatan sebagai balasan untuk sang Ratu. Pakaian wanita Jawa lengkap, pakaian lama Sultan, belasan kain mori berbeda jenis, potongan rambut dan kuku raja, kembang setaman, kemenyan, minyak wangi, daun sirih, serta aneka buah-buahan dan jajanan pasar dilarung setiap tahun.
Sejak itu mitos ini terus-menerus dinarasikan hingga lambat-laun melekat pada setiap sosok raja yang bertakhta. Tak terkecuali Sultan HB IX.
Kisah Sultan: Kereta Tanpa Kusir Seolah Ada Pengendali
Yogyakarta - Ahad malam, 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengku Buwono IX berpulang di Washington, DC, Amerika Serikat. Kabar meninggalnya Sultan belum sampai ke Keraton, tapi banyak orang melihat kemunculan secara tiba-tiba pelangi aneh, teja bathang, di atas kompleks kerajaan pada pagi hari.
Benar saja, tak lama setelah kemunculan pelangi itu, kabar tentang kepergian Sultan sampai ke Yogyakarta. "Rupanya kemunculan teja bathang suatu pertanda dari alam," kata Romo Tirun. "Tanda Keraton akan kehilangan rajanya."
Persiapan pemakaman pun dilakukan dengan lekas, dari upacara di Keraton sampai pemakaman. Ada yang menarik saat iring-iringan jenazah Sultan menuju permakaman. Saat itu Slamet, kuda Ngarso Dalem yang sering diajak blusukan, mengekor persis di belakang kereta Pralaya.
Pelananya dibiarkan kosong tanpa ada yang mengendalikan. Meski begitu, terlihat seolah-olah ada yang mengendalikan kuda hitam ini. Langkah kuda kekar itu sungguh seirama dengan berjalannya kereta yang membawa jenazah Sultan menuju tempat peristirahatan terakhir.
Setelah Hamengku Buwono IX mangkat pun banyak orang mengatakan melihat penampakan Sultan di Parangkusumo. Tak sedikit warga melihat sosok mirip Ngarso Dalem sedang mengendarai mobil berwarna merah tanpa kap di pantai. Setelah mengitari bibir pantai beberapa kali, Sultan mengarahkan mobilnya ke laut dan, blushh..., Sultan masuk ke laut selatan.
"Sewaktu saya kecil, bapak dan orang-orang tua sering memperbincangkan soal itu. Sekarang sudah ndak ada lagi yang lihat," ujar Ali, 39 tahun, Komandan Search and Rescue Pantai Parangtritis. Ali adalah anak Raden Panewu Surakso Tarwono, kuncen Pantai Parangkusumo saat Sultan IX masih hidup.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment