Legian, erotisme yang tak kalah oleh bom Bali
Musik keras terus berdentam dari kafe dan pub di sepanjang Jalan Legian, Kuta, Bali. Dari luar, lampu terlihat berkedip-kedip. Waiters perempuan di pintu masuk ikut bergoyang saat musik DJ di putar. Tangannya menari-nari dan pinggulnya bergoyang. Bokongnya menggoda mata lelaki jelalatan.
Makin malam, suasana di jantung Kuta itu kian ramai. Sampai-sampai, jalan bagi kendaraan pun tak bergerak.
Begitulah aktivitas di Jalan Legian saban malam. Apalagi di akhir pekan. Jalan yang diambil dari nama desa itu merupakan corong pemikat bagi para pelancong lokal maupun internasional singgah ke Bali.
"Kalau orang datang ke Bali pasti ke Kuta dulu. Nanti dari sini baru mereka akan ke tempat lain," kata I Ketut Ani pemilik warung kopi di Desa Kuta, Pekan kemarin.
Dia mengatakan sejak tahun 1984 saat dia tinggal di Desa Kuta untuk ikut dengan suaminya, para pelancong dari luar negeri memang mulai ramai. Masuk tahun milenium, Bali mulai menjadi pemikat bagi para turis dari berbagai mancanegara. Namun di balik itu, boleh dibilang turis asal Australia memang paling banyak membanjiri daerah Bali.
Jarak tempuh lumayan dekat jika naik pesawat. Hanya tiga jam dari Perth, Australia untuk mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali. Dari kota Sidney, waktu tempuh ke Bali memakan waktu paling lama. Sekitar 6 jam di atas udara.
"Paling dekat memang Australia," katanya.
Legian menjadi populer saat ledakan bom Bali pertama oleh Imam Samudra dkk. 12 Oktober 2002, saat itu waktu baru saja menunjukkan pukul 23.15 WITA. Ledakan keras terdengar hebat hingga puluhan kilometer. Lampu di sepanjang Legian hingga Kuta tiba-tiba langsung padam. Dari lorong di Jalan Poppies Land I sekumpulan bule menggendong temannya berlumuran darah. Malam itu menjadi sejarah pahit untuk desa Legian. Ratusan nyawa melayang akibat ledakan di Paddy's Club dan Sari Club. Paling banyak warga negara Australia. Jumlahnya 88 orang.
Namun sepinya pelancong pasca bom Bali tidak berlangsung lama. Tiga bulan setelahnya pelancong mulai datang meski tidak begitu ramai. Toko-toko di sekitar Jalan Legian hingga Kuta juga mulai ada yang buka. Namun tidak sampai malam seperti saat ini. Waktu itu, hanya sampai pukul enam sore.
"Saya keluar tidak pakai sendal dan bangunkan anak-anak," ujar Nyoman Ani. Warga desa kuta berkumpul di bibir jalan, semuanya tidak ada yang berani ke lokasi ledakan.
Di balik kejadian itu dan di antara para korban, semuanya tidak ada yang berasal dari Desa Legian maupun Desa Kuta. "Kebanyakan bule," kata dia. Namun di monumen Bom Bali tercatat 38 Warga Negara Indonesia menjadi korban ledakan 22 Oktober 2002.
Saat ini, Legian kembali hidup. Magnet Legian begitu kuat meski pernah dibom oleh teroris jaringan Al-Qaeda. Dari bibir Jalan Legian, aktivitas berdenyut hingga menuju pantai Kuta. Aktivitas itu terus berdetak mengelilingi Jalan Kuta dan bertemu di perempatan Jalan Legian kembali. Jalan berkonblok itu memang hanya memutar, melewati pantai Kuta, Hardrock Cafe, dan Beachwalk.
Saking kuatnya daya tarik Bali, pelancong bakal berkali-kali datang ke sini. Seperti, Alexander Graham Bell Simarmata, 26 tahun, pelancong asal Medan. Pemilik nama penemu telepon itu mengaku sudah tiga kali singgah ke Bali. Tujuannya liburan akhir pekan. Saban ke Bali, Graham Bell, sapaannya selalu singgah ke Jalan Legian meski hanya foto-foto tanpa membawa tentengan oleh-oleh.
"Saya sudah tiga kali," katanya saat ditemui di depan monumen Bom Bali di Jalan Legian.
Pelancong asal Australia menyebut Bali merupakan rumah kedua. Alasannya karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh.
"I'm From Australia," kata Kevin usai meminjam seluler untuk menghubungi kawannya lantaran kehabisan uang usai keluar dari sebuah club.
"You're Good my Friend," katanya berterima kasih.
Kawasan Legian menawarkan hiburan sepanjang malam. Mabuk sampai tak sadarkan diri dan wanita.
Simak penelusuran kami di seputar jalan legendaris ini.
'Obral' pelacur lokal di Legian
Malam kian larut di Jalan Legian, Kuta, Bali. Namun aktivitas di sini terus berdenyut hingga pukul empat dini hari. Makin malam, suasana semakin liar. Pelancong luar negeri dari berbagai negara seliweran di Legian. Tak terkecuali pelancong lokal dan Asia. Mereka mencari kesenangan, atau sekedar minum alkohol di Bar yang ada hingga dalam gang di kawasan Legian hingga pantai Kuta.
Dibalik dentuman musik malam kawasan Legian, banyak pelacur lokal menjajakan diri. Tidak hanya pelacur yang terang-terangan mangkal, sopir taksi dan tukang ojek bisa menyediakan pelacur lokal. "Cewek om," kata Lana, 30 tahun seorang sopir taksi.
Lana mematok tarif tidur dengan pelacur asal Bali Rp 400 ribu. Tarif itu sudah sekaligus kamar selama 1 jam. "Rp 400 ribu 1 jam, dijamin cantik-cantik," ujarnya setengah memaksa. Selain pelacur, Lana juga menawarkan Ekstasi untuk pesta di Club. Satu butir dia menawarkan seharga Rp 500 ribu.
Begitu pekerjaan sambilan sopir taksi dan tukang ojek di kawasan Jalan Legian. Mulai dari Ujung jalan hingga masuk di kawasan Legian, hampir semua tukang ojek menawarkan wanita.
Awalnya hanya menawarkan jasa angkutan, jika tidak di respons, jual pelacur akan terlontar dari bibirnya. "Nyari cewek? Ayo ada nih," teriak tukang ojek di ujung Jalan Legian.
Made, 50 tahun, tukang ojek asal Karang Asem menawarkan untuk tidur dengan pelacur lokal. Harganya lebih murah dibanding dengan Lana, dia mematok untuk tidur sejam dengan pelacur lokal Rp 350 ribu. Made boleh dibilang tipikal memaksa, dia terus mengejar untuk menawarkan pelacur dagangannya.
"Ada kalo mau yang lokal, tapi tidak disini," kata Made. Dia lantas menyuruh naik sepeda motornya. Tidak berselang lama, dia langsung menancap kuda besinya menuju ke kawasan perbatasan daerah Seminyak.
Waktu tempuh dengan sepeda motor ke kawasan seminyak sekitar sepuluh menit. Memutari Kawasan Legian dengan melewati gang hingga ujung Jalan Legian. Disana, pelacur dagangan Made berkumpul di sebuah losmen. Ada tiga kamar di losmen itu. Seorang pria berbadan tegap dan sangar menunggu di pintu masuk losmen. Sedangkan satu pria lagi menunggu di pinggir jalan untuk memastikan pelacur masih tersedia.
"Ada," kata pria itu kepada Made. Dia lantas mengantarkan masuk ke dalam losmen. Disana ada tiga pelacur duduk di bangku depan kamar. Mereka merokok sambil memainkan seluler. "Ayo mas," kata wanita berambut lurus dengan kulit kuning langsat menawarkan layanan ranjangnya.
Selain di Losmen itu, Made punya chanel lain pelacur dagangannya. Selepas dari Losmen, Made mengantarkan ke sebuah minimarket di Jalan Dewi Sri. Disana sebuah mobil Toyota Avanza Silver terparkir. Di dalamnya ada tujuh pelacur menunggu untuk diajak tidur. Semuanya kata Made wanita lokal asal Bali. Sebelum sampai kesana, Made menjamin pelacurnya cantik dan montok. Dia juga menjamin, belum pernah ditiduri oleh bule.
Made lantas memberikan kode kepada pria di depan minimarket. Dengan oboral singkat memakai bahasa Bali, pria itu menunjuk ke mobil Avanza.
"Nih mas, katanya dia mau kencan sama cowok ganteng kaya mas," kata wanita di dalam mobil sambil menunjuk temannya yang kebetulan duduk dibangku paling depan.
Omongan Made ternyata bohong. Pelacur di dalam Avanza itu sedang ditawar oleh Bule. Kebetulan saat itu seorang bule lelaki paruh baya sedang bernegosiasi untuk tidur dengan pelacur. Dia diantarkan oleh dua tukang ojek. Saat ada kesepakatan harga, pelacur bewajah cantik dengan tubuh aduhai itu lantas dibawa oleh bule itu menuju ke arah Jimbaran.
Pelacur lokal di Legian lebih suka dikencani bule
Bali menjadi surga para pelancong baik lokal maupun mancanegara. Pantai dan keindahan alam Bali yang eksotik memiliki daya tarik tersendiri.
Saban pagi hingga sore menjelang, pelancong bule mulai berjemur di Pantai Kuta. Mereka hanya mengenakan celana dalam dan kutang. Ada juga yang tidur berjemur tanpa menggunakan bra dengan posisi tengkurap. Aktivitas seperti itu sudah biasa di Bali.
Namun di balik sisi Eksotiknya, Bali juga menyimpan masalah sosial. Sejak menjamurnya para pelancong, prostitusi juga mulai menjamur di tempat ini. Seperti misalnya daerah Nusa Dua, di sana para pemburu birahi dimanjakan wanita lokal dalam akuarium.
Pelacur-pelacur asal Indonesia itu menjadi buruan para pelancong bule maupun Timur Tengah. Satu jam tarifnya bermacam-macam. Mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu.
"Kalau di Nusa dua Rp 500 ribu," kata Lana, 30 tahun sopir taksi merangkap calo pelacur di Legian saat berbincang, Senin dini hari lalu.
Lana lantas menawarkan pelacur lokal di Legian. Tarifnya Rp 400 ribu satu jam atau sekali kencan. Dia menjamin pelacur dagangannya belum pernah ditiduri oleh turis bule. Usianya pelacur tersebut 20 sampai 22 tahun.
"Saya nggak ambil disini, ada nggak jauh dari sini hanya 10 menit. Tinggal pilih dalam mobil, kalau nggak cocok tidak apa-apa," ujarnya menawarkan.
Lana mengakui jika di pelacur di kawasan Legian memang tidak cocok bagi orang Indonesia. Selain bekas ditiduri turis bule, pelacur lokal itu juga jarang berminat dengan orang Indonesia. Alasannya masuk akal, orang Indonesia beda ukuran dengan orang bule.
Selain Lana, Gede, 50 tahun juga merupakan calo pelacur lokal di legian. Dia mangkal untuk menjual jasa ojek tidak jauh dari Padies Pup. Sampingannya menjadi calo pelacur lokal. Bagi Gede, dia tidak memungkiri jika pelacur lokal di Legian memang sudah tidak lagi seorsinil aslinya.
"Kalau disini memang semuanya bekas Bule," kata dia.
Omongan Lana dan Gede memang bukan isapan jempol jika kebanyakan pelacur lokal lebih doyan dengan bule. Selain berkantong tebal, 'milik' mereka juga diyakini besar. Seperti penelusuran di Legian. Lima orang pelacur sejak pukul 12.00 WITA berdiri di samping tembok dekat sebuah kelab. Mereka menanti bule keluar dari kelab itu. Dengan senyum manis dan pakaian serba seksi, mereka merayu setiap Bule lelaki melintas.
Selain menawarkan diri, pelacur itu juga dijajakan oleh calo di sepanjang Legian. Wina, salah satu pelacur menawarkan jasa menjualkan diri selama satu jam Rp 500 ribu. Dia ogah untuk menurunkan harga, meski beberapa bule memintanya Rp 400 ribu untuk sekali kencan.
"Rp 500 mau nggak," katanya saat dirayu.
Bau lendir di Legian, dari Viagra hingga PSK
Tak ubahnya seperti di daerah Gajah Mada, Jakarta Pusat atau Lokasari di Jakarta Barat. Aktivitas di Legian juga berbau lendir. Obat kuat jenis viagra dan penjaja seks komersial juga ada di sini. Namun mereka tidak terang-terangan jual obat kuat bertempur di atas ranjang itu. Mereka sembunyi untuk menjajakannya kepada para pelancong bule maupun lokal.
Sabtu malam Minggu pekan kemarin, suasana di Jalan Legian begitu sesak. Di trotoar jalan berisi ribuan manusia dari Indonesia hingga mancanegara. Dentuman musik disk jokey membuat badan asyik mengikuti irama.
Tepat di depan sebuah kelab malam, manusia makin padat. Mau masuk pun harus antre. Tempat itu menawarkan hiburan musik malam. Tepat di sampingnya sebuah bangunan belum jadi, ada sekitar lima anak muda memegang viagra, mereka mengepalkan tangan seraya menawarkan obat kuat itu kepada para bule.
"Oh no no," kata bule wanita berkulit sedikit cokelat seraya jalan menuju ke arah lain. Ada juga bule yang ogah menanggapi penjual viagra.
Tidak berselang lama, pemuda dengan celana jeans dan mengenakan topi dibalik langsung sigap mendekati bule wanita lain. Tangannya sigap merangkul bule itu dan menawarkan obat kuat. Bule berambut pirang dan memakai dress warna merah tanpa lengan itu hanya tertawa keras. Dia tidak berminat ditawari obat kuat.
Lima menit kemudian, penjual viagra itu beruntung. Ada tiga pasangan ABG bule baru saja keluar dari sebuah pub. Mereka tertawa puas sambil membagikan permen jenis loly pop kepada penjual viagra. Tawaran obat kuat pun diambil pasangan ABG bule itu. Mereka lantas naik sepeda motor menuju ke arah pantai Kuta. Begitulah aksi penjual Viagra di Jalan Legian.
Daniel, 20 tahun, begitu panggilan penjual obat kuat tersebut mengaku menjual Viagra seharga Rp 50 ribu. Dalam tasnya ada puluhan kotak viagra untuk dijual. "Rp 50 ribu saja," kata dia.
Seorang pekerja seks komersial menawarkan diri untuk tidur bareng selama satu jam Rp 500 ribu. Pelacur itu bernama Wina, mengaku asal Bali. Tinggi badannya cuma sekitar 150 sentimeter. Dia tampak menggoda dengan balutan tanktop hitam dan celana pendek jeans warna biru. Tak ketinggalan sepatu hak tinggi dengan tas menggantung warna hitam.
"Lima ratus ribu satu jam," kata Wina menawarkan diri.
Wina enggan menurunkan harga untuk layanan ranjang yang dia jual. Jika setuju, pelanggan langsung membawa Wina ke hotel untuk tidur bareng. Di dekat Wina, ada empat orang temannya dengan pakaian serupa. Bercelana pendek dan tanktop serta dress pendek. Dari empat temannya hanya wajah Wina yang lumayan dipandang mata.
"Kalo mau, nggak bisa kurang. Itu buat naik taksi nanti," ujarnya. Tidak lama Wina dibooking pelancong berwajah Timur Tengah untuk tidur bareng ke sebuah hotel.
Dia pun menghilang sesaat dari hingar bingar di Legian.
Sopir taksi di Legian mengaku kerap diajak turis cewek mesum
Musik Reggae terus berdentum keras dari sebuah kelab malam di Legian, Kuta, Bali. Pengunjungnya bergoyang sambil tertawa seraya memegang minuman beralkohol dalam gelas. Kebanyakan isi kelab itu pelancong berambut pirang asal Australia.
Dalam kelab malam berjejer botol minuman beralkohol. Mulai dari kadar 35 persen hingga 45 persen tersedia di dalam rak kayu warna hitam. Tempat hiburan itu memang memanjakan pengunjung lewat musik band lokal dan minuman beralkohol.
Bagi kebanyakan turis asing, Bali memang surga untuk berlibur. Pagi berjemur, lalu berlanjut main selancar dan malamnya datang ke kelab untuk menikmati musik sambil menenggak minuman beralkohol.
Begitu rutinitas hampir semua kelab malam di kawasan Legian. Saban malam kelab itu ramai dikunjungi pelancong bule. Di balik kehidupan malam, ada cerita kelakuan bule Australia yang kerap berulah saat mabuk. Bule perempuan asal negara kanguru itu misalnya, suka mengajak tidur sopir taksi atau berbuat mesum dengan mencium sang sopir.
Ini pengakuan dari salah seorang sopir taksi ternama di Bali. Namanya Ihsan, 31 tahun. Dia baru dua tahun tinggal dan bekerja di Bali sebagai sopir armada berargo itu. Lelaki asal Kediri, Jawa Timur itu mengaku pernah mendapatkan penumpang mabuk asal Australia. Saat itu ada empat orang naik dalam taksinya. Tiga orang wanita asal Australia dengan satu teman lelakinya.
Dalam kondisi mabuk saat keluar dari club di Legian, mereka minta diantarkan untuk pindah ke kelab di bypass Ngurah Rai. Dalam perjalanan, bule wanita yang duduk di sampingnya berulah.
"Saya pernah diciumi saat bawa taksi. Dia nggak malu padahal ada teman lelakinya. Semuanya dalam kondisi mabuk," kata Ihsan saat berbincang dengan merdeka.com Senin lalu.
Dengan paksaan, bule itu merengek untuk ditiduri. Ihsan menjelaskan hal ini bukan terjadi hanya satu kali.
"Biasanya memang di Legian banyak yang kaya gitu. Ada aja lah pokoknya," kata Ihsan. Namun Ihsan tak mengetahui jika ada bule asal Australia menjajakan diri di Bali. "Kalo ada saya mau juga. Tapi biasanya bule jarang yang kaya gitu. Kan dia kalo kesini bawa uang sedompet jadi segepok," ujarnya sambil tertawa.
Pengakuan Ihsan juga diamini oleh sopir taksi lain. Namanya Mahrun, dia asli warga Karang Asem, Bali. Bagi dia cerita soal bule Australia mabuk dan suka berbuat onar memang begitu adanya. Namun, bule itu takut berusuan dengan penduduk lokal. Ada temannya yang menjadi pemuas nafsu bule asal Australia. Bisanya kata dia bule itu suka, lalu mengajak pacaran. Selama di Bali, bule itu minta ditemani. Bayarannya uang berupa transferan dan tidur dengan bule tersebut.
"Biasanya di transfer. Pokonya selama dia disini kita yang temani," ujarnya.
Lana, sopir taksi merangkap calo pelacur juga membenarkan kelakuan bejat bule wanita asal Australia kerap mengajak mesum sopir atau pemain selancar di Bali. Dia mengatakan, biasanya bule wanita itu berusia paruh baya atau sekitar 40 tahunan.
"Ada. Biasanya mereka kaya pacaran," kata Lana saat berbincang dengan merdeka.com di kawasan Jalan Legian. "Kalau yang jual diri sekarang sudah nggak ada. Kan ada larangan bagi bule disini untuk jual diri."
Rahasia Terlarang Pelacuran di Legian !!
lokalisasi
,
panti pijat
,
pelacuran
,
prostitusi
,
seks
,
sex
,
underground
Edit
0 komentar :
Post a Comment