Tradisi Mencabik Mayat Masih Bertahan di Banjar Buruan
GIANYAR - "Mayat yang tengah digarap itu dicabik-cabik oleh warga menggunakan gigi, ada juga pakai tangan.
Setelah tiba di sungai dekat kuburan, pencabik melepaskan mayat dari joli untuk dipermainkan. Dibawa lari ke sana-sini. Setelah capek, barulah mayat dikremasi," kata I Ketut Darta, usai tradisi ngarap mayat di banjarnya.
Pria yang menjabat sebagai Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring, Gianyar ini, mengatakan, pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap ada warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.
"Di sini ada sistem ngaben kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang meninggal itu dikubur. Tapi kan itu juga harus sesuai dengan hari baik. Kalau tidak ada hari baik untuk mengubur mayat, maka harus ngaben langsung atau ngaben pribadi. Saat ngaben pribadi inilah, tradisi ngarap dijalankan," ujarnya ramah.
Disebut Ketut Darta, tidak ada sastra tertulis yang menjelaskan tentang keberadaan tradisi ini.
Namun, menurut penuturan para tetua di Banjar Buruan, tradisi ini muncul karena pada zaman dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat baunya sangat menyengat.
Sampai-sampai warga tidak bisa membawa ke kuburan. Karena keadaan tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama mengarak sambil mempermainkan mayat itu.
"Agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap (mempermainkan mayat)," ujar pensiunan guru SDN 4 Tampaksiring itu.
Pria yang sudah menjabat sebagai kelian sejak tahun 2009 ini, mengatakan saat ngarap, warga tidak memandang kasta.
Apabila mereka menggunakan sistem ngaben personal untuk upacara Pitra Yadnya, tetap akan diperlakukan sama.
"Tapi kalau pemangku atau sulinggih, kami pergunakan suatu taktik supaya warga tidak ngarap. Taktinya adalah menggelar ritual mekingsan ring gni. Kalau tidak begitu bisa runyam masalahnya," tandasnya.
Warga Luar Tanpa Sadar Bisa Dikeroyok
Kelian yang memimpin 240 kepala keluarga (KK) ini mengatakan, yang boleh ikut dalam tradisi ngarak ini hanya warga setempat.
Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya fatal. Sebab secara tidak sadar, massa akan mengeroyok orang itu.
Tradisi ngarak saat ini sudah sedikit mendingan. Tahun 1980-an, mayat sampai dikeluarkan dari kaputnya.
Untuk mengantisivasi hal itu lagi, pihak keluarga dan prajuru banjar melapisi mayat dengan banyak pembungkus. Di antaranya, tikar, kain, diikat rantai lebar 5 cm, dan dikaput lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.
"Pengaputan ini juga untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa tahu sewaktu masih hidup, mayat itu punya penyakit menular," ungkap pria kelahiran 31 Desember 1948 ini.
Pemuda setempat, I Ketut Rudita (29) mengaku gemar mencabik jasad orang meninggal menggunakan giginya.
Ia mengatakan tidak ada rasa apapun saat menggigit mayat.
"Biasa saja kok. Soalnya saat melakukan itu, saya setengah sadar," ungkapnya.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment