Rahasia Terlarang Seks Nikmat Timur Tengah

Prostitusi Negeri Firaun Lebih dari Sekadar Seks

 Ilustrasi. Lokasi prostitusi di Mesir.

PROFESI pelacur digadang-gadang sebagai salah satu jenis pekerjaan tertua di dunia. Sejak sebelum masehi, dalam kitab-kitab agama Samawi bahkan sudah tertera transaksi gelap antara uang dan kepuasan seksual. Sebut saja bisnis haram di Kota Sodom dan Gomora yang habis dilalap si jago merah, hingga raja-raja yang memiliki banyak istri, selir atau gundik. Raja Salomo, yang dikenal arif dan bijaksana pun mendekati akhir masa jayanya tercatat memiliki 700 istri dan 300 selir.

Mesir sebagai salah satu sumber peradaban bangsa-bangsa di dunia juga tak terlepas dari gemerlap industri prostitusi. Meskipun negara terbesar di timur laut Afrika dan Timur Tengah ini menganggap ilegal perdagangan seks.

Serupa dengan negara-negara lain di dunia, prostitusi di Negeri Firaun lekat dengan perempuan, uang dan seks. Namun lebih dari itu, bisnis ‘esek-esek’ di Mesir merupakan indikator penting bagi kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.

Kesenjangan Ekonomi

Sejak Arab Spring 2011 yang bergulir dari Tunisia hingga seantero pemerintahan diktator negara semenanjung Arab, termasuk penggulingan Presiden Mohamed Hosni Mubarak setelah menjabat lima periode di Mesir, perekonomian Negeri Piramida menurun tajam. Investor mulai menarik diri, terutama pada sektor pariwisata. Banyak orang terjangkit kesulitan ekonomi dan mendadak jadi pengangguran. Diwartakan Reuters, tingkat pengangguran di Mesir meningkat hingga 12,8 persen pada periode Desember 2015.

Di sinilah para penjaja seks itu semakin mengalami diskriminasi dan menjadi faktor penting kesenjangan ekonomi yang terlihat di permukaan. Dilansir dari Business Insider, tidak hanya prostitusi dampaknya telah meluas akibat revolusi, layanan romantika sesaat ini juga telah menyesap ke dalam lapisan sosial dan ekonomi rakyat Mesir secara mencolok.

Faktanya, banyak pria di negara beribukotakan Kairo tidak punya cukup uang untuk menikah dan mustahil untuk melakukan keintiman fisik dengan rekan perempuannya. Dengan begitu, pilihan paling relevan adalah memenuhi hasrat birahi mereka dengan pergi ke rumah pelacuran atau menikmati hubungan singkat dengan para penjaja seks.

Walaupun dilarang secara hukum, tetap saja ada beberapa lokasi favorit untuk pelesiran, antara lain di Hotel Marriot, Four Season, Hilton dan Sheraton Heliopolis yang terletak di ibu kota, serta beberapa apartemen dan rumah bordil ilegal di Alexandria dan kota-kota besar lainnya.

Di hotel tarifnya jauh lebih mahal, dibanding di kedai-kedai ‘kopi pangku’. Pelanggannya biasa berasal dari kalangan wisatawan Arab Saudi. Sementara pekerja seks komersil (PSK)-nya mayoritas berkewarganegaraan Mesir dan Rusia.

Salah satu red light district terkenal lainnya ialah Haram Avenue dan liga Arab Boulevard yang terletak di pusat Kota Mohandessin, Kairo. Beberapa dekade yang lalu, yakni selama Perang Dunia II, ada berbagai rumah perahu yang ditambatkan di tepi sungai Nil guna melayani pelesiran seks di ibu kota berpenduduk 16 juta orang tersebut.

Kesenjangan Sosial

Tidak banyak yang tahu bahwa istilah prostitusi di Mesir mempunyai konotasi makna yang kaya. Ia lebih dari sekadar perdagangan seks, tetapi juga sudut pandang dan ciri khas yang disematkan kepada seseorang.

Label PSK di Mesir sering ditujukan kepada perempuan yang menentang kaidah sosial dan norma susila yang umumnya berlaku di masyarakat. Para perempuan ini belum tentu tuna susila, namun mereka yang berada sendirian di lingkangan pria-pria Arab biasanya memperoleh julukan tersebut.

Disitat dari American Sexuallity Magazine, terdapat beberapa ciri spesifik yang membedakan perempuan ‘baik-baik’ dan pelacur. Antara lain, kesendirian, dandanan, cara berpakaian dan jam malam.

Jarang sekali ada perempuan yang berjalan seorang diri di wilayah Arab, demikian juga di Mesir, kaum hawa biasanya didampingi orangtua, saudara maupun teman jika berpergian. Umumnya mereka juga masih tinggal bersama orangtua, mertua dan suami. Jadi, jika ada perempuan yang duduk atau jalan sendirian di negara ini, atau sering berganti-ganti pendamping, besar kemungkinan mereka layak disebut PSK.

Kedua, bisa ditebak dari riasan atau dandanan mereka yang medok, alias lebih tebal daripada perempuan Arab pada umumnya. Lengkap dengan eyeliner hitam di atas dan bawah mata mereka. Lalu, cara berpakaian yang selalu lebih terbuka.

Pria hidung belang biasanya lebih ahli menilai hal ini, karena ada kesan berbeda yang dipancarkan dari cara berpakaian, ekspresi dan gerakan tubuh perempuan bayaran dan perempuan berkelas.

Pengertian prostitusi di Mesir menunjukkan kelas sosial mereka. Kebanyakan wanita dari kelas bawah dan menengah tidak akan diizinkan oleh keluarga mereka untuk berkeliaran di luar hingga larut malam, berpakaian tipis, dan pergi ke rumah makan yang ada barnya.

“Jika mereka melakukannya, itu berarti keluarga mereka tidak memaksakan (beban menjaga) kehormatan atas anak perempuan mereka, melalui jam malam maupun pemantauan ketat terhadap perilaku mereka,” ujar Malak, penari perut yang ditemui jurnalis American Sexuality Magazine L.L. Wynn sekira tahun 2000 di suatu pesta makan malam di Kairo.

Sementara itu, sebutan pelacur juga melekat kepada para perempuan yang menikah demi harta dan para pewaris yang senang bergonta-ganti pasangan semata untuk hura-hura.

Kesenjangan Budaya

Terkenal dengan peradaban kuno dan monumen-monumen bersejarah termegah di dunia, kini Mesir dikaui secara luas sebagai pusat budaya dan politik utama di kawasan semenanjung Arab dan Timur Tengah.

Sudah menjadi tradisi selama musim panas, banyak wisatawan asal Arab Saudi berkunjung ke Mesir untuk pelesiran ke rumah-rumah lacur. Selain untuk menghindari terik matahari di negara asal, mereka juga lebih bebas menyalurkan nafsu mereka di Mesir, hal yang tidak bisa mereka lakukan sama sekali di negerinya.

Mayoritas penjajan seks di Mesir diiklankan secara daring. Layanan di hotel-hotel dan bar dititipkan kepada bartender dan dapat diakses melalui telefon genggam dan bluetooth.

Sama halnya dengan negara-negara teluk Arab dan Timur Tengah, sistem budaya yang dianut Mesir adalah patriarkal, mengutamakan kedudukan pria, sedangkan perempuan selalu dinomorduakan.

Industri seksual, masih tabu untuk dibicarakan. Berbagai desakan dari masyarakat untuk melegalkan profesi ini tak kunjung didengar pemerintah. Atas dasar hukum agama dan sosial, profesi ini begitu dinistakan. Korbannya, tak lain adalah kaum perempuan jua.

Mengabaikan persoalan ini, selain berimplikasi jelas terhadap kemunafikan sosial, juga merupakan masalah serius yang mampu meningkatkan risiko penyakit menular seksual. Ditambah perdangan seksual oleh para mucikari, serta diskriminasi hukum dan pelecehan seksual mendera para PSK. Sebab mereka dianggap salah, tidak memiliki perlindungan hukum sehingga siapa pun bisa dengan bebas memperlakukan dan memandang rendah mereka.

Di samping itu, ada juga kelompok intelektual yang berpendapat dengan dilegalkannya profesi PSK, maka tren menumbalkan perempuan bisa dijungkirbalikkan. Selain memberi mereka kebebasan, juga memberdayakan mereka.

''Setelah legalisasi dan normalisasi prostitusi swasta, lebih banyak wanita akan merasa diberdayakan untuk memahami bahwa kegiatan mereka bukan pekerjaan rendahan, melainkan jadi semangat dan pekerjaan yang menguntungkan,'' demikian pendapat seorang cendekiawan Mesir pada sebuah artikel di International Journal of Humaniora dan Ilmu Sosial, disadur dari Daily News of Egypt.

Dalam masyarakat yang menafikan feminisme seperti Mesir, wacana kekerasan terhadap pekerja seks bukan masalah yang menerima banyak perhatian.

About Blogger

Jakarta Sex and Mystery Magazine "JakartaBatavia Magz" - Enjoy and Relax here.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :