Dicari! Payung dan Keris Pangeran Diponegoro yang Belum Kembali
Jakarta - Masih ada 2 pusaka Pangeran Diponegoro yang belum kembali. Yakni payung dan keris Nogosiluman. Namun keberadaan Nogosiluman diduga kuat masih di Belanda.
"Keris Nogosiluman, payung. Museum ini (Museum Nasional) jadi museum rujukan, satu sejarah yang sangat penting, bisa ada satu tempat khusus untuk memelihara benda Diponegoro, bisa buat satu kaitan, buat satu story yang utuh," demikian jawab sejarawan asal Inggris yang sudah lebih dari 4 dekade meneliti Pangeran Diponegoro, Peter Brian Ramsay Carey, saat ditanya pusaka Diponegoro yang belum kembali.
Carey menyampaikan hal itu di sela-sela seminar sejarah di hari museum internasional bertema "Objects, Museums, Histories: The Case of Diponegoro" di Museum Nasional Indonesia, Jl Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat, Rabu (18/5/2016).
Soal keris Nogosiluman, Carey menduga kuat bahwa kerisnya berada di suatu ruang pusaka yang dimiliki Kerajaan Belanda.
"Tapi kita sudah tahu 100 persen, sudah yakin bahwa pada tahun 1831 ini ada di koleksi kerajaan. Ada kamar heritage, satu ruang di mana semua benda-benda yang agak aneh ditaruh di Den Haag di kerajaan Belanda. Story yang utuh, karena saat Raden Saleh yang masih muda disuruh buat laporan untuk Belanda, dia buat deskripsi ini adalah Nogosiluman dan ini benda yang ada kaitan dengan Diponegoro, 14 luk, bisa panggil Ratu Kidul," jelas dia.
Harus ada peneliti yang merunut khusus keberadaan keris ini di Belanda. "Mengapa tidak Indonesia kirim peneliti untuk melacak di mana. Ini tergantung Indonesia, apakah akan membayar peneliti untuk itu," imbaunya.
Sedangkan sejarawan Rijksmuseum Belanda, Harm Stevens mengatakan benda-benda yang berkaitan dengan Diponegoro di museumnya adalah benda-benda yang tidak dimiliki langsung oleh Pangeran Diponegoro.
"Ada beberapa koleksi soal Diponegoro, seperti hasil sketsa Diponegoro. Namun tak ada yang dimiliki langsung oleh Diponegoro," tutur Stevens saat dikonfirmasi di tempat yang sama dalam kesempatan terpisah.
Harm Stevens adalah sejarawan Rijksmuseum yang meneliti tentang tongkat Diponegoro dan membantu pengembalian tongkat Diponegoro pada keluarga keturunan JC Baud. Keluarga JC Baud menyimpan tongkat Diponegoro itu selama 183 tahun sebelum dikembalikan ke Indonesia pada Februari 2015 lalu.
Sedangkan peneliti dan sejarawan Belanda dari Netherland Institute for Military History, Dr Mark Loderich saat dikonfirmasi tentang informasi dari Peter Carey mengatakan tidak tahu persis, tapi kemungkinan besar bisa jadi masih menjadi koleksi kerajaan Belanda.
"Kerajaan punya banyak koleksi, namun biasanya mereka memberikan ke museum, tak dimiliki sendiri. Mereka berikan ke Rijksmuseum atau museum lain dan dipamerkan. Jadi mesti tanya orang di museum," tutur Loderich dalam kesempatan terpisah.
Loderich menambahkan pada abad 19, sudah lazim pihak yang memenangkan perang mengambil harta pampasan perang. Namun, Loderich percaya keterangan Peter Carey kemungkinan besar benar karena tak meragukan dedikasinya meneliti Diponegoro.
"Saya pikir sangat besar kemungkinannya. Namun dugaan saya itu sudah dikembalikan ke Indonesia tahun 1977, atau bila benar ada koleksi keris milik kerajaan Belanda, mesti diteliti lagi, di mana persisnya, apakah benar itu punya Diponegoro," tuturnya.
Sebelumnya, Peter Carey, peneliti naskah "Babad Diponegoro" selama 40 tahun ini menekankan pentingnya keris Kiai Nogosiluman ini, karena keris itu dirampas dan dikirim ke Belanda bersama Tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda, sebagai bukti sang pangeran telah ditaklukkan dan ditangkap pada 11 November 1829. Keris, tombak dan pelana diserahkan pada Raja Willem I yang bertahta 1813-1840 di Den Haag.
Raden Saleh, pelukis yang sedang magang di Belanda antara 1830-1839 dipanggil Istana di Den Haag untuk mendeskripsikan benda-benda pusaka, termasuk keris Kiai Nogosiluman.
Kemudian, pihak Kerajaan mengeluarkan beberapa benda pusaka, ada yang dikembalikan ke Indonesia, ada yang dihadiahkan kepada organisasi veteran perang. Yang sudah dikembalikan ke Indonesia adalah tombak dan pelana kuda, pada tahun 1978 oleh Ratu Juliana, di bawah ketentuan Kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia tahun 1968. Yang dihadiahkan ke organisasi veteran perang adalah keris Kiai Nogosiluman.
Kini, keberadaan keris Kiai Nogosiluman itu simpang siur. Informasi terakhir yang diketahui Peter, keris itu berada di dalam museum etnografi di Leiden, Belanda.
Hingga saat ini baru ada 3 pusaka Pangeran Diponegoro yang sudah dikembalikan ke Indonesia, yakni tombak Kiai Rondhan, pelana kuda dan tongkat Kiai Cokro dan menjadi koleksi Museum Nasionel. Sedangkan jubah Diponegoro berada di museum di Jawa Tengah.
Misteri Keberadaan Keris 'Kiai Nogosiluman' Diponegoro
Jakarta - Selain keris Kiai Bondoyudo yang dikuburkan bersama jasad Pangeran Diponegoro, masih ada keris yang tercecer. Keris itu bernama Kiai Nogosiluman, yang mestinya dilacak pemerintah RI.
"Yang paling penting adalah keris Diponegoro, Nogosiluman, yang dikirim ke Belanda sebagai tanda penaklukan dari Diponegoro. Serta, keris dari Hamengkubuwono kedua," demikian kata sejarawan peneliti Diponegoro, Peter Brian Ramsey Carey menjawab pertanyaan tentang berapa banyak peninggalan Diponegoro yang masih terserak di luar negeri.
Hal itu dikatakan Peter usai Curator's Talk pameran 'Aku Diponegoro' di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (6/2/2015) malam.
Peneliti naskah "Babad Diponegoro" selama 40 tahun ini menekankan pentingnya keris Kiai Nogosiluman ini, karena keris itu dirampas dan dikirim ke Belanda bersam Tombak Kiai Rondhan dan pelana kuda, sebagai bukti sang pangeran telah ditaklukkan dan ditangkap pada 11 November 1829. Keris, tombak dan pelana diserahkan pada Raja Willem I yang bertahta 1813-1840 di Den Haag.
Raden Saleh, pelukis yang sedang magang di Belanda antara 1830-1839 dipanggil Istana di Den Haag untuk mendeskripsikan benda-benda pusaka, termasuk keris Kiai Nogosiluman.
Kemudian, pihak Kerajaan mengeluarkan beberapa benda pusaka, ada yang dikembalikan ke Indonesia, ada yang dihadiahkan kepada organisasi veteran perang. Yang sudah dikembalikan ke Indonesia adalah tombak dan pelana kuda, pada tahun 1978 oleh Ratu Juliana, di bawah ketentuan Kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia tahun 1968. Yang dihadiahkan ke organisasi veteran perang adalah keris Kiai Nogosiluman.
Kini, keberadaan keris Kiai Nogosiluman itu simpang siur. Informasi terakhir yang diketahui Peter, keris itu berada di dalam museum etnografi di Leiden, Belanda.
"Keris Nogosiluman itu harus dilacak. Harus ada pengumuman, kalau bisa kirim pawang ke sana (Belanda), seorang dukun untuk lihat, bagaimana, di mana itu," kata Peter setengah bercanda.
Kisah Pusaka Diponegoro
Kisah Keluarga JC Baud yang 183 Tahun Simpan Tongkat Kiai Cokro Diponegoro
Jakarta - Bagaimana tongkat pusaka Diponegoro sampai ke Belanda dan kembali lagi ke Indonesia? Ternyata, keluarga Jean Chretien (JC) Baud dan keturunannya yang menyimpan tongkat ini 183 tahun.
JC Baud, adalah orang keturunan Swiss yang bekerja untuk Belanda, hingga menjadi Gubernur Jenderal Belanda di Jawa pada tahun 1833-1836.
JC Baud, kemudian diberi tongkat itu oleh Pangeran Notoprojo pada Juli 1834, saat melakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau. Pangeran Notoprojo sendiri adalah cucu dari komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang. Tongkat itu berada di tangan Pangeran Notoprojo setelah penangkapan Diponegoro pada fase akhir Perang Jawa, kemungkinan pada 11 Agustus 1829.
Pangeran Notoprojo memberikan tongkat ini pada JC Baud, karena berusaha mengambil hati para penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak ini. Notoprojo menjadi sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. JC Baud membawa tongkat itu ke Belanda dan mewariskan pada keturunannya
"Pada 2012, ayah dari kakak beradik Erica Lucia Baud dan Michiel Baud meninggal dunia. Mereka ini keturunan JC Baud, cicit-cicitnya," jelas Nebojsa Djordevic sejarawan seni dari Serbia yang meneliti Diponegoro dari lukisan untuk thesisnya di UNS-Solo saat ditemui di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jumat ( 6/2/2015).
Sejak tahun 2012 mereka telah terus memelihara warisan kakek buyutnya itu hingga Agustus 2014, datanglah Harm Stevens dari Rijkmuseum kepada keluarga Baud untuk meneliti tentang tongkat Diponegoro.
"Erica dan Michiel sudah tahu tongkat ini punya Pangeran Diponegoro. Mereka lantas bertanya pada Stevens, apa yang harus mereka lakukan dengan ini. Steven menyarankan untuk mengembalikannya ke Indonesia," jelas Nebo, panggilan Nebojsa.
Dalam tongkat itu, menurut Nebo, terselip kertas yang keterangannya ditulis JC Baud sendiri, bunyinya demikian:
Deze staf, tjokro genaamd, heeft toebehoord aan Prins Diepo Negoro en is in juli 1834 door Pangrerang Noto Prodjo aan J.C Baud, Gouverneeur General van Ned.
De staf is afkomstig van de Sultans van Demak en werd door Diepo Negoro gedragen telk ens wanneer hij als pelgrim naar heilige plaatsen ging om zegen af te bidden op zijne indernemingen.
Tulisan itu kurang lebih menceritakan asal usul tongkat itu yang aslinya dimiliki Sultan Demak, kemudian ke tangan Diponegoro, ke Notoprojo hingga ke JC Baud, seperti yamg telah diceritakan di atas.
Pengembalian tongkat itu juga dibantu Rijkmuseum, Kedubes Belanda di Jakarta, serta Peter BR Carey, sejarawan yang sudah 40 tahun meneliti Diponegoro, hingga datang ke Indonesia pada Kamis ( 5/2/2015) kemarin.
"Kami berharap bahwa penyerahan tongkat ini menjadi momentum yang kecil namun penting secara simbolis dalam memasuki era baru yang diisi dengan saling menghormati, persahabatan dan persamaan. Dengan tulus kami berharap bahwa seperti itulah momen ini akan dikenang," demikian tulis Erica dan Michiel Baud dalam buku katalog tongkat ini " A Lost Pusaka Returned".
Keris Kiai Bondoyudo Dikubur Bersama Jasad Diponegoro di Makassar
Jakarta - Sebuah pusaka Pangeran Diponegoro yang sering terlihat di lukisan dan gambar sang pangeran adalah sebilah keris. Keris ini terselip di pinggang Diponegoro dan terlihat jelas di balik jubah putihnya. Keris ini bernama Kiai Bondoyudo.
Salah satu gambar Diponegoro membawa pusaka ini terlihat di lukisan karya AJ Bik yang dilukis di Batavia pada 1830. Lukisan ini dipakai sebagai gambar cover buku karya Buku karya Peter Carey berjudul Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Peter menulis, dalam lukisan itu terlihat Pangeran mengenanakan busana ulama yang dipakainya selama Perang Jawa (1825-1830). Pakaian ini berupa sorban, baju koko tanpa kerah dan jubah. Sebuah selempang tersampir di bahu kanan dan keris pusaka Kanjeng Kiai Bondoyudo terselip di ikat ponggang yang terbuat dari sutra bermotif bunga-bunga.
Dalam lukisan itu terlihat pipi Diponegoro agak cekung, menonjolkan tulang pipi Pangeran. Hal ini disebabkan serangan malaria yang dia derita sejak menjadi pelarian di hutan-hutan Bagelen pada masa akhir perang.
Dalam bukunya Peter menjelaskan, keris Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lainnya. Nama Bondoyudo berarti Jago Duel Tanpa Senjata. Keris ini digunakan Diponegoro untuk mengobarkan semangat tempur balatentaranya di masa-masa sulit selama melawan Belanda.
Tak seperti pusaka lainnya, keris ini terus dibawa Pangeran Diponegoro hingga akhir hayatnya. Setelah kalah perang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Manado lalu ke Makassar.
Pangeran Diponegoro wafat pada Senin 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam, Makassar. Diponegoro wafat persis setelah matahari terbit pada pukul 06.30 WIB. Dia wafat saat usianya mencapai 70 tahun. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar, bersama dengan keris pusakanya Kanjeng Kiai Bondoyudo.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 komentar :
Post a Comment